Selasa, 23 Desember 2008

Festival Wayang menghangatkan Yogyakarta

Langit Yogyakarta mendung semalam. Saya memasuki pelataran Taman Budaya yang tampak tak begitu riuh. Lamat-lamat semacam suara bonang dan seruling melengking mengarahkan langkah saya.

Memasuki gedung ruang pementasan di area Taman Budaya Yogyakarta ketika Ki Nurhadi bersama pengrawit pendukungnya dari Nusa Tenggara Timur tengah mengawali pementasan Wayang Sasak. Suasana ruangan cukup hangat. Lampu diredupkan hingga nyaris gelap. Kelir dicahayai hanya dengan warna tembaga jilatan api belencong dibantu sebuah bola lampu tak begitu terang, yang digantung di sepotong papan tepat di hadapan wajah si dalang, sehingga sesekali dalang musti berkelit dari senggolan lampu. Salah satu pengrawit memastikan bahwa lampu senantiasa bergoyang pelan, dengan sesekali mencoleknya dengan ujung jari. Dari balik kelir, penonton melihat bayangan yang saling berbincang itu seperti bergerak menari menjauh-mendekat.Pementasan yang bertajuk ‘Kubarsih’, yang menceritakan perselisihan antara Raja Kubarsih, Prabu Maliat Kustur, dengan Prabu Jayeng Rana, berlangsung kurang lebih 1 jam, dengan alat musik yang tidak cukup banyak.

Pementasan wayang sasak ini merupakan bagian dari keseluruhan Agenda Festival Wayang Nasional II, yang melibatkan 18 dalang ternama dari seluruh wilayah

Indonesia. Festival Wayang II ini juga bebarengan penyelenggaraannya dengan dua agenda besar pewayangan negeri ini, yakni Sidang II ASEAN Puppetry Assocation dan Musyawarah Nasional Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) ke-V.
Memasuki hari kedua, 13 dalang telah menunjukkan kebolehannya. Setiap dalang memperoleh ruang selama kurang lebih 1 jam untuk menampilkan cerita-cerita yang mereka pilih. Pementasan demi pementasan telah dimulai sejak pukul 10.00 WI hingga pukul 12.00. Malam kedua ini cukup dipadati penonton, yang mengikuti seluruh pertunjukan mulai dari sajian Komda Nusa Tenggara Barat, tuan rumah DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Cukup menggembirakan bahwa di antara penonton, banyak yang berasal dari kalangan muda, dan mahasiswa.


Menjelang pulang, sembari menunggu hujan berhenti, saya menghampiri beberapa penonton untuk mendengar pendapat mereka mengenai acara malam itu. Seorang penonton mengaku bernama Rudi, seorang mahasiswa, mengaku amat terkesan dengan pertunjukan malam itu. Dia tadinya berpikir bahwa wayang hanya ada di wilayah Jawa dan pementasan wayang Sasak malam tadi adalah yang mendorongnya untuk datang menonton, meski dia sendiri tidak memahami dialognya. Jangankan bahasa Sasak, wayang dalam bahasa Jawa pun kadang masih sulit dipahaminya karena bahasa Jawa yang digunakan bukanlah bahasa Jawa yang umumnya dia dengar sehari-hari.

Di sudut lain, seorang penonton perempuan terkesan dengan pementasan dari Komda DI Yogyakarta. Menurutnya, cukup enak ditonton dan tidak membosankan.Satu hal yang disayangkannya berkaitan dengan candaan dari dalang. Menurut amatannya, dari penyajian empat dalang yang berbeda, dia mendengar hanya dalang terakhir lah yang lelucon dan candanya tidak berorientasi seks. Ah, masa sih? (Atik)

Tidak ada komentar: