Senin, 22 Desember 2008

WAYANG: KERJA, KARYA DAN DHARMA 4

Kilas Kisah Wayang di Jawa

Sifat Warna
Merah Api Amarah Marah
Hitam Bumi Aluamah Makanan
Kuning Air Sufia Kesenangan
Putih Udara Mutmainah Kesucian

Keempat kuda jelas dipadankan dengan empat nafsu, daya atau energi yang harus diarahkan
pada satu tujuan. Nafsu empat akan berguna bagi kehidupan jika ia tidak dikacaukan hasrat
penguasaan. Ia bukan hal yang patut dipertentangkan apalagi dihindarkan. Hidup nyatanya
membutuhkan kekuataan dan gairah. Terkendalinya ego—yang berada di lintang empat itu—
pada gilirannya akan mendorong pencapaian yang lebih tinggi lagi, yakni bersatunya: Rasa
yang diwakili oleh Batara Narada; Roh-Batara Respati; Nafsu-Batara Parasu; Budi-Batara
Janaka (Arjuna); dalam Diri yang hidup-Kresna (Lih. Woodward, 1999: 281, bdk. Stange,
1998: 57-58).

Para Pandawa sendiri seringkali diasosiasikan dengan panca indera sekaligus perlambang
sifat. Dan orang Jawa senang sekali memadu-madankan sifat-sifat itu bagi dirinya maupun
bagi kepentingan pedagogik yang lebih luas, bagi anak-anak mereka. Bima adalah lambang
kekuatan sekaligus ketulusan. Pertemuannya dengan dirinya melalui Nawaruci adalah contoh
paling klasik yang kemudian ‘meruwat’ kekurangannya: berjalan maju tanpa menimbang
bimbang. Yudhistira adalah gambaran bagi altruisme sampai pada titik mengorbankan diri
dan akhirnya kepentingan yang lebih besar. Ia seringkali terjebak pada perasaan ‘tidak dapat
berkata tidak’ dan dengan begitu selalu mem-butuhkan saudara-saudaranya untuk mengambil
putusan yang berkait dengan kebijakan publik.

Sementara Arjuna, saking satria-nya tega
untuk melakukan kekejaman dibalik kehalusan
budi, watak dan penampilannya.
Secara esensial wayang kerap membuka ruang
perdebatan filsafat sekaligus contoh kasus
paling banyak dikutip. Tengoklah Gatholoco.
Ia menanyakan manakah yang lebih tua,
dalang, wayang, layar atau blencong. Ahamd
Arif menjawab layar, Abduljabar menebak
dalang dan Abdul manaf menyebut wayang.
Namun Gatholoco malahan menjawab yang
paling tua adalah blencong. Dalam
penjelasannya blencong diartikan sebagai
wahyu Allah, layar adalah simbol dari raga,
wayang adalah sejatinya suksma dan dalang
tiada lain adalah Sang Rassulullah.

“Dalang sekedar menggerakkan wayang, menurut perintah si penanggap, yang
bernama Kyai Sepi. Semuanya sepi tanpa ada, adanya digelas sungguh-sungguh,
abadi tak kunjung berubah, tidak kurang tidak lebih, tanpa aturan tanpa kegunaan,
yang lebih menguasai atas gerak gerik wayang ucapan dalang. Yang menyaksikan
hanya Si Kyai hidup. Bila lampu telah padam, semuanya hampa, tak ada apa-apanya,
bagai diriku sebelum dilahirkan, tetap kosong tak ada sesuatu apa pun. Lampu adalah
wahyu kehidupan, seumpama Tuhan, cahaya hidup ini, menguasai dirimu luar dan
dalam, bawah dan atas. Wujudmu adalah wujud Tuhan Yang Mahakuasa” (dalam
Sumardjo, 2002: 332).

Ke-khasan wayang tidak semata berkutat pada siapa atau apa yang terlibat di dalamnya. Tiga
babak besar dalam tiap pertunjukan wayang pun disebut Stange (1998: 66) sebagai gambaran
dari proses ‘evolusi spiritual’.

Wayang biasanya dimulai pada pukul sembilan. Tiga jam pertama ini di kenal sebagai
pengantar. Prolog atas kejadian, sebuah sebab-akibat yang kelak akan. Orang menyebut fase
ini dengan Pathet Ném. Kata Ném sendiri kemudian diidentikkan dengan kata enom atau
muda. Dicabutnya gunungan dari gedhebok pisang oleh sang dalang adalah lambang
kelahiran yang dua, yakni pehelaan antar binary dalam kehidupan.

Tidak ada komentar: