Senin, 26 Juli 2010

Ki Bambang Asmoro Akan Gelar Baratayudha Sari Kudup Palwaga

HARTA...TAHTA...WANITA... masih membelenggu sebagian besar manusia. Untuk mendapatkan dan mempertahankan hal tersebut menghalalkan segala cara yang terpenting kemauan terlaksana meski membawa resiko dan korban beribu-ribu orang tak berdosa. Fenomena tersebut juga banyak kita jumpai bukan hanya dijagat pakeliran tetapi di jagat terdapat dikehidupan nyata, seputar kita. Mulai dari Pejabat sampai konglomerat, Politisi sampai si pulan tukang mimpi. Negeri ini telah lama dijajah Dasamuka sehingga ajaranya melekat hampir disetiap pemimpin negeri ini.

KI Bambang Asmoro, akan menggelar lakon Baratayudha sari kudup palwaga. Lakon ini sejatinya menceriterakan tentang peperangan antara para wanara (kera) dengan para raseksa. Biasanya yang lumrah kita dengar dengan "Brubuh Ngalengka". Pementasan kali ini dalam rangka ikut memeriahkan Festival Wayang Nasional yang diselengarakan oleh Musium Wayang Jakarta. Digelar pada malam hari di palataran Musium Fatahilah, depan Musium Wayang Jakarta Kota.

Pergelaran akan menampilkan wayang purwa gagrak Surakarta, Yogyakarta, Banyumas,juga menampilkan wayang Bali, wayang Golek Sunda, wayang Betawi.



tidak seperti biasanya, Ki Bambang Asmoro sendiri kali ini tidak menampilkan garapan yang aneh-aneh tetapi fokus pada penggarapan lakon. Dengan referensi dari beberapa sumber dan pengalaman menonton dalang -dalang sepuh, Bambang mencoba untuk meramu dalam sajian ringkas dengan sanggit-sanggit kekinian. Bambang tak berharap banyak dari pementasan ini, sebab pengrawit, waranggana dan peralatan disiapkan panitia dan tidak ada kesempatan untuk latihan, paling tidak untuk menata iringannya. dengan nada datar Bambang berseloroh;

"Yo wis ...digelar sagaduking nalar wae" (di gelar sekemampuan nalar)
 katanya.

Sekemampuan nalar Dalang, pengrawit, sinden dan kemampuan penonton untuk mengapresiasi tentunya. Meski demikian pagelaran ini sayang jika dilewatkan begitu saja, karena Dalang lintas gaya akan tampil selama Festival berlangsung.

sekedar diketahui acara akan dimulai pada:

tgl 1 Agustus 2010 jam 10.00 WIB. menampilkan wayang Betawi Sukarla. (lakon:..............)

tgl 1 Agustus 2010 jam 21.99 WIB menampilkan wayang kulit purwa gy. surakarta ;
Nyi Rumiati Ajang Mas main 2 layar dgn Ki Purbo Asmoro (Lakon Pancali Karmawibangga - Duryudana Gugur)

tgl 2 Agustus 2010 jam 21.oo WIB menampilkan Wayang kulit purwa gy.Yogyakarta:
Ki Reki Putut Sugianto (Lakon: Rama Gandrun) dan Ki Gunarto guna Talijendra (lakon Anoman duta)

Tgl 3 Agustus 2010 jam 21.oo WIB menampilkan wayang kulit Purwa Gy.Surakarta:
Ki Bambang asmoro (lokon: Rama Tambak - Brubuh Ngalengka) dan Ki Parwoto gy. Banyumasan (Lakon: Togog Mantu).

Tgl 4 Agustus 2010 jam 21.oo WIB menampilkan Apep Hudaya (lakon: Dewa Nurcahya)

Tgl 5 Agustus 2010 jam 20.00 WIB menampilkan Ki I Ketut Muada (Lakon: Tualen dadi Caru).


SINOPSIS BRUBUH NGALENGKA
(Bratayuda Sari Kudup Palwaga)

Di bukit Mangliawan tiba-tiba ribuan kera berteriak riang. Melihat mega -mega merah muda berarak -arak di balik bulan. Bulan berseri mandi cahaya matahari. Bulan dinanti seribu hari, meski terbenam baru sehari. Hari-hari yang ditungu akhir nya tiba jua. Perintah menyeberang ke alengka disambut dengan gembira penuh kegagahan dalam diri para kera. Tambak sudah terbentang luas hasil jerih payah bersama dalam pola kerja penuh kebersamaan. Namun prajineman Alengka Yuyurumpung telah menggerogoti tambak dari dasar samodra. Anoman denga sigap memerintahkan kapi kingkin untuk membereskannya.

Perjalanan menuju alengka tidak mulus. Baru paroh tambak yang dilalui, sabregada prajurit Alengka yang dipimpin Sarpakenaka tanpa sepengetahuan Dasamuka tiba-tiba menyerang tanpa ampun. Dengan kesaktiannya ribuan kera ditawan dalam kemben. Anoman dengan rayuannya pura-pura bercinta dengan Sarpakenaka, sehingga ia lengah dan Sarpakenaka mati ditangan Anoman. Balatentera wanara berhasil memasuki gerbang Alengka. Banyak raseksa yang tewas termasuk senopati gul-agul, seperti Prahastha, Aswani Kumba- Kumba Aswani.

Sepeninngal Prahastha Dasamuka kebingungan, ketika tidak sengaja tertidur di pekuburan kakeknya Sumali, ia mimpi ketemu Sumali dan diwejang berbagai hal menuju kebaikan Alengka. Bangun dari tidur ternyata Indrajit sudah menghadap. Indrajit diperintahkan untuk membangunkan kumbakarna yang tidur di Gunung Goh Karna. Berhasil Indrajit membawa pulang Kumbakarna. Di Alengka makanan kesukaan Kumbakarna telah tersedia, dengan lahapnya Kumbakarna menyantap semua makanan sampai ludes. Ia mau berperang hanya karena membela negara. Dan Kumbakarna Gugur di medan laga dengan sangat mengenaskan.

Di Mangliawan Rama merasa ragu-ragu apa yang ia hadapi termasuk cintanya kepada Sinta. Haruskah ia melibatkan pribuan para kera bermandikan darah untuk merebut Sinta? Keragu-raguan itu akhirnya dipatahkan oleh Lesamana adik tercitanya dan semar sang pamomong.

Rahwana marah bukan kepalang melihat kekalahan di pihak Alengka, selama ini tiada manusia bahkan dewa yang mampu mengalahkannnya. Tapi kenapa kali ini ia harus kalah hanya dengan para kera.

Indrajit maju dengan gagah berani, di apit oleh putra alengka lainya. Nagapasa senjata andalan banyak menelan korban. Tetapi para putra Alengka akhirnya gugur di medan laga.

Bagaimana dengan Rahwana?,,,,,,dapatkah Sinta bersatu kembali dengan Rama? Simak secara cermat pergelaran Ki Bambang Asmoro dengan garapan sanggit-sanggit yang menggigit.

Senin, 25 Januari 2010

Taman Mawar: Tentang Dhalang Bambang, Dhalang Wawan



Sebuah catatan yang tertunda.(oleh: Iskak wijaya)

Bayangkan jika suatu hari Anda diundang untuk mengunjungi sebuah taman mawar. Jika Anda seorang penikmat mawar, apa yang terbayang dalam benak? Kemasyukan dan gairah barangkali. Membayangkan dan bakal mencium aroma mawar merah di taman sangat luas, di tengah-tengah kembang yang sejenis! Apa Anda sadar bahwa untuk hadir di sana, di tengah kemerahan itu, Anda tidak mesti mengenakan warna merah?

Apa yang terjadi ketika Anda keliru? Ternyata taman mawar itu menyuguhi Anda dengan kelopak bajunya yang tidak hanya merah? Melainkan kuning, putih, biru dan – anehnya – ada yang belang-belang?

Bagi seorang penikmat tulen mawar merah akan bertanya-tanya. Siapa yang memungkinkan warna-warna yang menelikung sumber aslinya itu? Gerangan apa yang dimaui yang pencipta keragaman itu?

Bagi yang tidak puas, warna selain merah bagi sang mawar merupakan ketidakmungkinan. Wujud yang bukan diadakan, melainkan diada-adakan; sebuah anti-kemapanan, anti-selera, dan tentu saja jahil. Pertanyaan lain: siapa sosok perancang dan pencipta mawar-bukan-merah itu? Bagi seorang yang sedang kasmaran bisa jadi bertanya: apa hebatnya mawar biru kala sang pecinta ingin mengirimkan tanda tulus pada kekasih? Merah lebih pas, lebih beraksi, lebih asli.

Hadir dalam sebuah taman mirip kehadiran dalam sebuah pementasan, sebuah pagelaran. Namun di luar itu semua, jika sang penikmat cukup jeli, ia akan mempertanyakan tanggung jawab sang juru taman yang menciptakan keanekaan itu. Bertemuanya gagasan tradisi mawar merah dan mawar-bukan-merah karena ada unsur lain: ada peran konsep penataan kontemporer, tata cahaya untuk memuaskan mata secara modern, wilayah-wilayah yang disatukan sekaligus untuk memisahkan yang tradisi dan bukan-tradisi, serta aspek kekuasaan yang memiliki kewenangan sah dari sang juru taman, tidak lain sang dhalang.

Pagelaran taman wayang: dengan warna gagrag Surakarta, warna Sunda, warna Teater, warna musik kekinian, semua itu sepenuhnya adalah bagian dari keseluruhan yang sejenis: taman wayang itu sendiri. Sama dengan mawar-bukan-merah, ini merupakan teknik perekayasaan. Dan sebuah tampilan memang menjadi wakil dari rekayasa kebudayaan, rekayasa nalar, dan yang sangat penting – seringkali ini agak dilupakan – adalah rekayasa tanggungjawab.

Jika sang penikmat (penonton, penghayat, penggemar, penggembira) sepenuhnya mengafirmasi atau menyetujui, malah tidak sepakat sekali pun, maka sang juru rekayasa (seluruh elemen penggagas dan pengusul serta aktor subyek juru taman/dhalang) mesti memiliki alasan atau kerangka fundamental yang kokoh untuk menjelaskan mengapa warna-warna itu menjadi tidak mustahil.

Sebuah teori atau konsep – menurut pandangan yang optimis – akan menjadi semakin kuat dan berakar tatkala ia bersedia berhadapan dengan kritik dan upaya pendongkelan lainnya. Justru konsep atau ide itu akan menjelajah dan mengembara kemana-mana karena ia mampu bertanggungjawab pertama-tama bukan pada penikmat/pemakai melainkan pada dirinya sendiri terlebih dahulu. Dengan demikian, apapun asumsi dari hasrat penciptaan akan membumi dengan sendirinya dan tahan lama, sehingga memungkinkan menjadi tradisi baru. Semangat penerimaan kritik dan pertanggungjawaban ini bukan didasari oleh keinginan konflik antara kedua pihak, tetapi karena ‘uji materi’ secara akademi kehidupan, bukan akademi sekolahan.

Yang demikian itu sesungguhnya menjadi titik pusat bagi sebuah kolaborasi. Dalam pengertian ini kolaborasi bukan bekerjasama karena persamaan melainkan bekerjabeda atas dasar perbedaan. Dua pihak memiliki niatan untuk bergandengan justru karena saling percaya atas perbedaan-perbedaan masing-masing, sementara pada saat bersamaan berkenan untuk dibarengkan.

Taman pagelaran yang sudah lewat, dari sang Dhalang Bambang-Dhalang Wawan untuk Brubuh Alengka telah mewakili perhelatan taman mawar-bukan-merah itu. Karena waktu tak bisa dihentikan, pentas itu juga akan diuji oleh sang waktu. Sedetik setelah gelar usai, yang tersisa tidak lain adalah jejak dan tafsir. Komentar atau analisis sebuah gelar adalah sah secara metodologis. Entah untuk kritik, entah untuk perbaikan, entah untuk apapun. Tapi satu hal yang jelas: tanggungjawab sang juru dhalang adalah mutlak dan ini berlangsung sampai waktu yang entah kapan. Itulah yang tetap dipikul seorang pelaku, figur subyek. Dimanapun.

Akhir kalimat, taman pagelaran akan menunggu untuk diperlakukan siapa saja. Dan secara etis-estetis, seorang dhalang pagelaran mesti siap untuk maju, berhadapan dengan niat baik sang penikmat, penghayat, maupun mereka yang tidak sepakat.

Bahkan jika dalam taman semua mawar adalah merah, setiap mawar tidak pernah sama dengan temannya.