Selasa, 31 Maret 2009

Abimanyu




Bagian dari Adegan Senjakala Kurusetra. Abimanyu menerjang maju ke medan laga dengan gagahnya, meski akhirnya rela mati dengan ratusan anak panah menancap ditubuhnya.

Jumat, 06 Maret 2009

Karma Dursasana


Karma Dursasana
KOMPAS: Minggu, 15 Februari 2009 | 01:30 WIB

Dalang lulusan STSI Surakarta, Ki Bambang Asmoro (42), menggelar pentas wayang kulit pakeliran padat dengan lakon ”Sandyakala Kurusetra”. Kisah dari perang Bharatayuda itu coba diolah dalam pendekatan semi teatrikal dengan melibatkan instrumen musik modern dan koreografer Elly D Luthan. Berhasilkah kolaborasi itu menyuguhkan pentas segar?

”Sandyakala Kurusetra” dimainkan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan, Kamis (12/2) malam. Dalang mengambil tempat di belakang layar putih, menghadap penonton, sehingga penonton menyaksikan permainan wayang lewat bayangan saja. Musik ditangani Tendri Yusuf serta sejumlah pemusik tradisional.
Pertunjukan dibuka dengan bayangan gunungan berkelebat-kelebat dan sosok-sosok berkilas-kilas di layar. Musik menggedor-gedor. Suasana mencekam itu, demikian dalang berkisah, menggambarkan kecamuk perang Bharatayuda.

Setelah Abimanyu dan Gatutkaca dari Pandawa tewas dalam pertarungan sengit, Werkudara mengamuk. Menyaksikan itu, tiba-tiba Dursasana dari Kurawa ngeri. Adik Raja Duryudana dari Hastinapura itu menerawang kilas balik sebelum perang, saat dia mengakali Pandawa dalam permainan dadu.

Adegan berikutnya dimainkan secara teatrikal oleh beberapa aktor langsung di panggung, sementara permainan wayang pada layar berhenti. Raja Amarta, Puntadewa, kalah main dadu sehingga terpaksa menyerahkan istrinya, Drupadi, sebagai taruhan. Perempuan cantik itu ditelanjangi oleh Dursasana.

Dipermalukan begitu, Drupadi (diperankan Santi Dwi Saputri) marah dan bersumpah. ”Saya tak akan mengeramas rambut, kecuali pakai darah Dursasana!”
Kembali ke layar, wayang kulit menggambarkan, Dursasana kemudian bertarung dengan Werkudara. Lewat pergulatan seru, tokoh brangasan itu pun menemukan karmanya: tewas mengenaskan.

Saat wayang kulit terpaku pada adegan kematian Dursasana, penari Elly D Luthan muncul, memerankan Drupadi yang hendak keramas darah. Dia berputar-putar pelan di antara pemain gamelan, lalu beringsut ke depan layar, menyelaraskan gerak dengan sabetan bayang-bayang wayang. Geliat tubuh dan mimik wajahnya mengekspresikan dendam kesumat teramat perih

Dia ambil selendang merah dari gedebok dalang, dan pelan-pelan dililitkan ke tubuh, kemudian menggelung rambutnya. Prosesi tari ini menjadi simbol Drupadi telah memenuhi sumpah berkeramas dengan darah Dursasana.

Tanggung

Berhasilkah pentas itu menyegarkan pentas wayang? Dalam beberapa hal, kolaborasi itu masih serba tanggung.
Dari sisi cerita, memang ada usaha dari dalang Ki Bambang Asmoro untuk berkisah melalui sudut pandang Dursasana dari Kurawa. Alur cerita pun tak ditata linier, melainkan secara kilas balik. Durasi pentas wayang yang biasanya mencapai 7-9 jam dipadatkan menjadi sekitar dua jam.

”Saya ingin pentas ini lebih menghibur dan memberikan perspektif beda dengan umumnya lakon yang dikisahkan dari pandangan Pandawa saja,” kata Bambang, yang bekerja sebagai pegawai Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) itu.
Namun, bagi penulis beberapa novel wayang dan penggiat Wapres Bulungan, Yanusa Nugraha, penyegaran dari sisi cerita itu belum tergarap maksimal. ”Cerita pentas tak terlalu banyak berubah dari kisah Bharatayuda asli dalam pewayangan Jawa atau India. Perspektif Dursasana belum terbangun kuat sampai menjadi tafsir sendiri atas lakon umum,” katanya.

Penampilan sejumlah aktor dalam adegan main dadu di panggung juga masih agak kikuk sehingga malah mengendurkan intensitas pertunjukan. Gesekan biola dan petikan keyboard yang dimotori Tendri Yusuf cukup mengentalkan suasana beberapa adegan. Sayang, improvisasi ini belum diikuti para penabuh gamelan tradisional lain.
Pertunjukan ”Sandyakala Kurusetra” cukup menarik dilihat dari kemasan penampilan visualnya, tetapi tentu bakal lebih menggebrak lagi jika mau memanfaatkan kekuatan multimedia. Pentas ini tertolong oleh pengalaman Elly D Luthan yang cukup mendalami kisah Drupadi. Keintiman koreografer pada lakon Drupadi pas menyiratkan sosok perempuan yang lama memendam sakit hati.

Meski dengan gerak minimalis, tarian Elly bisa turut hanyut dalam atmosfer suara dalang, sabetan wayang kelir, dan lantunan lagu pilu yang mengiringinya. ”Gerak tari mengalir sebagaimana mengalirnya tarian Jawa klasik. Saya tak terpaku pada bentuk, melainkan lebih mengekspresikan rasa,” katanya. (ilham khoiri)

Tatkala Dursasana Gugur di Tangan Bima



SINAR HARAPAN: 12 Fbruari 2009

Jakarta - Penari itu menarik kain merah yang terselip di bawah kelir wayang kulit. Elly D Luthan melangkah pelan, menjauhi kelir (layar). Dalang memperlihatkan sosok Dursasana yang mati di tangan Werkudara (Bima). Adegan ini mengakhiri mimpi Drupadi yang ingin mencuci rambut dari darah Dursasana. Bagi Dursasana, inilah karma dirinya, dikiranya dia mampu berbuat kebajikan menjelang kematian, tapi ternyata “pisuhan” (umpatan kasar) yang keluar dari mulutnya, “Bima asu, anjing, bajingan...”
Kamis (12/2), di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan, kolaborasi antara wayang kulit dengan dalang Ki Bambang Asmoro dan koreografer sekaligus penari Elly Luthan – berperan sebagai Drupadi tua, dipergelarkan.

Pertunjukan ini juga didukung Santi Dwi Saputri yang berperan sebagai Drupadi muda, juga seniman lainnya seperti “dalang muda” Nanang Hape, Tendri, Kiki Dunung, Janggrono Sutrisna, Prapto Panuju, Dirman, Irwan Riyadi hingga Yanusa Nugroho.
Pertunjukan berlakon Sandyakala Kurusetra ini memang tak disajikan sebagaimana pertunjukan wayang kulit biasanya, karena yang diambil adalah berbagai peristiwa menggambarkan karakter seorang Dursasana. Durasi yang singkat - berbeda dengan pergelaran wayang semalam suntuk seperti biasanya – tak mengurangi klimaks adegan akhir lakon ini. Pertunjukan singkat sekitar dua jam lebih memakai model “wayang kulit pakeliran padat”.

Bila untuk pertunjukannya, dalam dua kali latihan, mereka sudah mendapatkan bentuk. Namun, untuk penggarapan naskah, menurut dalang yang juga karyawan Departemen Komumikasi dan Informatika ini, mereka garap dalam waktu sebulan. Perkara kain merah yang “keleleran” di bawah kelir, justru mampu memadukan dunia tari dan wayang. Terutama kekuatan Elly Luthan berhasil mengisi adegan akhir dendam dan kedukaan di wajah dan gerak tubuhnya. Padahal, awalnya, penampilan penari di depan wayang, kelir dan gamelan nyaris terkesan menjadi aksesori pertunjukan belaka.

Ada di Keseharian

“Tokoh Dursasana ada dalam keseharian hidup ini,” papar Ki Bambang, sambil tersenyum. Karena itu, darma yang menjadi buah kebajikan pada Dursasana tak terbukti di saat dia mati. Karmalah yang menyertai akhir hayatnya.
Pertunjukan ini bertujuan ingin mengangkat persepsi Dursasana yang keliru dalam memandang karma dan kematian. Suatu pesan moral yang disampaikan dengan cara menyenangkan, menghibur dan mengena bagi generasi muda.

Ungkapan bahasa Jawa “nabrak” dari kromo inggil, kromo madyo, ngoko, sampai bahasa Indonesia dilontarkan oleh Ki Bambang Asmoro. Kendati, bahasa kromo antarsatria Pandawa masih menghias dialog secara dominan, percakapan ngoko antarpunawakan tetap dimunculkan, bahasa Indonesia sesekali mencuat dalam dinamika dialog bahasa Jawa.
Untuk masalah ini, Ki Dalang mengaku ingin menyajikan dalam bahasa Indonesia, namun kemudian tetap mengembalikannya dalam bahasa Jawa. “Tetap dalam bahasa Jawa, eman-eman (sayang), roh sastra Jawa-nya bisa lepas,” papar Ki Bambang. (sihar ramses simatupang)




Copyright © Sinar Harapan 2008

Kamis, 05 Maret 2009

" Hanya Menjadi Dursasana "



KORAN JAKARTA: Minggu, 15 Februari 2009 01:02 WIB
Posting by : Administrator

Lakon pertunjukan wayang yang kerap diadakan semalam suntuk, diringkas menjadi dua jam. Namun, tak ada dekonstruksi cerita. Masih hitam putih. Rivalitas abadi kejahatan dan kebaikan.

Dursasana akhirnya menerima karma atas perbuatannya menelanjangi Drupadi

Lakon pertunjukan wayang yang kerap diadakan semalam suntuk, diringkas menjadi dua jam. Namun, tak ada dekonstruksi cerita. Masih hitam putih. Rivalitas abadi kejahatan dan kebaikan.

Drupadi –diperankan oleh penari senior Elly D Luthan- menari dengan gerakan lambat, tangannya mengayun lembut sementara kakinya mengimbangi dengan langkah pendek-pendek. Indah. Drupadi menari dengan membebaskan tubuhnya untuk bergerak sendiri. Sesekali tubuhnya mengejang merasakan harmoni kelembutan yang dibangun. Seolah gelisah.

Gamelan yang mengalir satu-satu dan lolongan pengrawit memberi latar suara yang kian mengiris. Drupadi menarikan kesedihan, juga marah, dan penantian panjangnya. Rambutnya yang terurai panjang tak beraturan semakin menguatkan gambar luka hatinya. Sudah belasan tahun Drupadi tak mengikat rambutnya. Sekarang waktunya.

Di pakeliran pertarungan barbar satu lawan satu sedang berlangsung. Dursasana dan Bima tohpati. Gada beradu gada, tendang beradu tendang. Penuh harus tepuaskan dendam. Ya, perang karma dan darma. Darma Bima untuk memenuhi sumpahnya membunuh Dursasana. Dan karma Dursasana atas semua perbuatannya di masa silam. Dalam perang agung Bratayudha Jayabinangun darma atau karma sebesar zasat renik pun harus terbayar lunas. Seperti ibu muda yang menunggui anak pertamanya, Drupadi gelisah menunggu akhir cerita. Tapi, ia tetap menari.

Dalam sebuah kesempatan, Dursasana lengah pancanaka –kuku Bima- merobek perutnya. Belasan tahun yang dinanti Drupadi datang juga. Dursasana pralaya dengan tubuh tercabik-cabik mengerikan. Perlahan Drupadi mendekat, simbah darah Dursasana diraupnya lalu dibalurkan pada seluruh rambutnya. Lampu latar menyala merah. Darah. Sumpah terlaksana dan Drupadi menggelung kembali rambutnya.

Tarian Drupadi di panggung dan pertarungan barbar Bima dengan Dursasana di pakeliran tadi adalah adegan puncak Sandyakala Kurusetra, yang menggambarkan suasana palagan Kurusetra dalam perang Bratayuda Jayabinangun. Dalangnya ki Bambang Asmoro, karyawan Depkominfo lulusan dari STSI Surakarta tahun 1993.

Sandykala Kurusetra yang manggung di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta (12/2) adalah pakeliran padat yang menggabungkan antara kelir wayang dan dalangnya, teater serta tari. Kelir padat sebetulnya bukan konsep baru, almarhum SD Gendon Umardani yang pertama kali menggagas konsep itu di tahun 90-am saat masih di Sasana Mulya keraton Solo. Satu lakon wayang yang biasanya makan waktu semalam suntuk saat dipentaskan, diringkas menjadi hanya beberapa jam. Tentu tanpa mengorbankan keindahan estetisnya. Lihat saja subplot-subplot yang berserak dalam Sandykala Kurusetra. Abimanyu Rajam, Gathotkaca Gugur, Kresna Duta sampai Pandawa Dadu yang dalam pertunjukan wayang tradisional merupakan sebuah cerita yang berdiri sendiri.

Bambang bisa dibilang sukses pada adegan puncak saat Drupadi keramas dengan darah Dursasana. Dua adegan yang tampil bersama –Drupadi yang menari di latar depan dan serta Bima yang sedang bertarung dengan Dursasana di kelir- sebenarnya penonton rawan terpecah perhatiannya. Tapi Bambang –dan juga Elly- secara cerdas memanfaatkan sudut pandang penonton dalam garis sejajar. Otomatis, ketika penonton menikmati gerak kesedihan Drupadi, maka pertarungan hidup mati Bima dan Dursasana di pakeliran melengkapi menjadi rohnya. Penonton hanyut pada dua adegan yang menyatu.

Fragmen puncak itu setidaknya menjadi penebus panggung yang kedodoran di tengah pertunjukan. Perjudian antara Pandawa dan Kurawa di pasewakan Astina yang mestinya menjadi titik masuk semua cerita tak tergarap maksimal. Juga, saat Drupadi ditelanjangi. Mestinya di titik ini penari –Drupadi muda diperankan oleh Santi Dwi Saputri - bisa “bermain-main” dengan eksplorasi estetik. Penderitaan Drupadi, marah, malu dan sakit hatinya mengalir datar saja. Padahal karakter Drupadi di titik ini sangat kuat. Kurang apa Drupadi sebagai istri yang setia hingga harus, dipertaruhkan, ditelanjangi, lalu diewer-ewer auratnya oleh Dursasana di depan banyak orang. “Kita memang kesulitan memvisualisasikan permainan dadu itu. Sekelas pak Narto –Nartosabdo- saja yang bisa,” ujar Bambang memberi alasan.

Darma dan Karma
Bambang bercerita, Sandykala Kurusetra berkisah tentang dharma dan karma. Sebuah cerita hitam putih tentang si baik yang mengalahkan si jahat. Tema yang sebenarnya bisa saja sangat bias karena tergantung dengan sudut pandang sang dalang. Pandawa menang karena baik. Kurawa kalah karena jahat. Tak ada ruang untuk interpretasi. Ini juga dilakukan oleh Bambang Asmoro, sang dalang. Dursasana taken granted sudah jahat, Duryudono dan Sengkuni juga. Puntadewa dan Pandawa selalu menjadi pahlawan. Padahal, orang baik mana yang tega mempertaruhkan saudara, negara, istri dan semua yang dimilikinya demi judi?

Dursasana akhirnya menerima karma atas perbuatannya menelanjangi Drupadi. Tapi siapa yang menghukum Yudistira karena mempertaruhkan istrinya. Dalam kacamata Yudistira –maaf kacamata para dalang- Drupadi istrinya tak lebih dari sekadar properti yang bisa dengan mudah dipindah tangankan, bahkan dengan taruhan judi sekalipun. Yudistira tak memerlukan “bertanya” pada Drupadi, apakah bersedia menjadi taruhan.

Tak bermain di ranah konsep memang diakui oleh Bambang sendiri. “Kita sebenarnya mau bongkar itu. Dursasana dibuat bagus, bahkan ketika dia mati, Bima menangisi Dursasana dan penonton kita buat berpikir mesak’e banget Dursasana matinya –dengan badang hancur lebur- demikian,” jelas Bambang.

Tapi, di sisi lain Bambang merasa kesulitan karena dari awal pagelaran Sandykala Kurusetra berangkat dari ide karma dan darma. Selain itu, dalam kondisi sekarang, masih menurut Bambang, ide itu juga memotret kekinian dimana orang-orang lebih memilih berperan menjadi Dursasana .

Sempitnya ruang untuk mendaur ulang karakter Dursasana bahkan tercermin dalam adegan puncak. Menyadari karmanya, Dursasana kemudian memulai pencarian swarga langgeng-nya dengan bertanya pada Semar. “Jalan mati seperti apa, dengan segala karma itu bisa mencapai swarga langgeng.” Tanya Dursasana. Pasrah dan ikhlas. Tapi Bambang juga tak memberi kesempatan pada Dursasana. Ketika dia menjelang ajal, bukannya menyebut sang penciptanya. Dursasana malah memberondonkan makian. “Bajingan, bajingan, bajingan mati aku.”

Tentang konsep hitam-putih memandang darma dan karma Bambang menyebut lain waktu dirinya akan mulai menggarap “Untuk Sandykala Kurusetra kita memang belum merambah kesana. Lain waktu kita akan bongkar itu. Mau kita jungkir balikan wayang ini juga berani kok,” terang dalang kelahiran Pacitan 17 Januari 1967 itu.

Secara umum penampilan Bambang dan kawan-kawan kali ini tebilang memikat. Wayang yang biasanya identik dengan generasi sepuh kali bisa dinikmati oleh anak muda. Mereka sesekali terlihat menghela nafas, atau ikut merinding menyaksikan Elly D Luthan menarikan Drupadi. Bila beberapa hal tak tergarap maksimal seperti panggung yang minim, tata lampu yang miskin, atau tampilan teaternya yang garing mungkin kita juga harus maklum pada Bambang. “Di renggo dewe mas –dibiayai sendiri-, alhamdulilah separo didukung yayasan Putra Pendawa. Ini kerja -gotong royong dengan sesama seniman, kalau bayar semua, mati aku,” ujar Bambang menjelaskan biaya Sandykala Kurusetra yang mencapai lebih 15 juta rupiah itu.Tegun Nugroho/Adiyanto
Tegun Nugroho/Adiyanto

Dursasana Menuai Karma



Halaman Muka,JURNAL NASIONAL: Jakarta | Minggu, 15 Feb 2009
Dursasana Menuai Karma
by : Fransisca Dewi Ria Utari

Penelanjangan Drupadi oleh Dursasana saat permainan dadu merupakan peristiwa paling berkesan di keseluruhan kisah Mahabharata. Bisa dibilang, peristiwa tersebut bermakna kompleks. Di satu sisi, saat itulah nilai ksatria Pandawa hilang di meja judi, sekaligus awal dimulainya perjalanan pahit pembuangan Pandawa. Namun bagi kalangan perempuan, ditempatkannya Drupadi sebagai taruhan, menoreh kepahitan dan menodai nilai seorang perempuan.

Tak heran begitu banyak lakon dibuat berdasarkan fragmen ini. Mulai dari musik (Ananda Sukarlan membuat komposisi dua piano berjudul The Humiliation of Drupadi, film Drupadi oleh Leila Chudori, hingga karya tari tentang Drupadi oleh Elly Luthan). Kini giliran Dalang Ki Bambang Asmoro, mengangkat episode kelam ini dalam pentas wayang kulit kolaboratif bertajuk Senjakala Kurusetra yang ditampilkan di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan pada Kamis (12/2).

Pementasan ini bertajuk kolaboratif karena tak hanya menampilkan panggung wayang kulit seperti biasanya. Namun juga mempertunjukkan pengolahan musik lintas instrumen dan beberapa adegan yang ditarikan oleh Elly Lutan dan beberapa penari dari kelompoknya.

Konsep pertunjukan ini dirancang Bambang Asmoro sejak sebulan silam. Kepada sejumlah seniman yang mendukung acara ini—Elly Lutan, dalang muda Nanang Hape, Yanusa Nugraha dan Prapto Panuju—Bambang menawarkan naskah Dursasana Jambak yang pernah dibawanya ke Festival Dalang Indonesia di Surabaya pada 2005.

“Kemudian naskah itu dirombak lagi. Kalau mengangkat dari sisi Drupadi, sudah banyak yang menampilkannya. Akhirnya kenapa tidak dari sisi Dursasana dengan menampilkan konsep karma dan darma,” ujar dalang kelahiran Pacitan, 17 Januari 1967 ini.
Karma yang dialami Dursasana dikisahkan Bambang Asmoro dengan alur tidak linier. Ia membuka pertunjukannya dengan adegan peperangan Bharatayuda di Kurusetra. Saat Dursasana terdesak oleh serangan Bima, ia pun mulai mengingat kembali masa lalu ketika perjudian antara Kurawa dan Pandawa.

Adegan kembali ke masa lalu ini ditampilkan dalam bentuk drama tari. Tampil karakter Sengkuni, Dursasana, Puntadewa dan Drupadi (diperankan Santi Dwi Saputri). Kelicikan Sengkuni dalam mengolah dadu menyebabkan Puntadewa menerima usul Sengkuni menjadikan Drupadi sebagai taruhan. Ketika kalah, upaya Dursasana menelanjangi Drupadi gagal karena campur tangan dewa yang membuat kain kemben Drupadi tak pernah habis diurai. Sejak kejadian itu, Drupadi bersumpah tak akan menggelung rambutnya sebelum keramas darah Dursasana.

Adegan selanjutnya kembali ke layar wayang kulit. Mengisahkan kekejaman Dursasana yang membunuh dua rakyat kecil: Tarko dan Sarko yang dituduhnya membantu Pandawa. Karena kalah berjudi, Pandawa dihukum 12 tahun pembuangan. Satu tahun pertama, mereka tidak boleh menerima uluran tangan siapapun. Jika terbukti dibantu, mereka harus memperpanjang masa hukuman.

Bagian goro-goro yang biasanya berisi lawakan dan kritik sosial terkini, ditampilkan dalang yang sehari-hari bekerja di Departemen Komunikasi dan Informasi ini dengan memainkan tokoh punakawan Petruk, Gareng, Semar dan Tejamantri. Pembahasan soal karma dan darma terjadi dalam percakapan antara Semar dan Tejamantri yang merupakan jelmaan dewa. Begitu pula konsep karma dan darma kembali dibahas dalam dialog antara Prabu Kresna dengan Prabu Salya—mertua Duryudana. Baik Kresna dan Semar menegaskan bahwa Dursasana tak dapat menghindari karma atas kejahatan yang dilakukannya.
Kemunculan adegan tari kembali terjadi di bagian akhir ketika alur yang tak linier itu mengembalikan penonton ke adegan pertempuran antara Bima dan Dursasana. Saat itulah muncul Elly Lutan sebagai Drupadi di masa tuanya. Ia menari dengan gerakan dasar tari Jawa sambil mengekplorasi rambut panjang yang diurainya lepas. Begitu Dursasana tersudut, tampil penari lainnya yang memerankan Dursasana dalam wujud manusia. Ia terkapar di tengah panggung. Secara perlahan, Elly menarik kain merah dari tengah layar sebagai lambang darah Dursasana.

Pentas ini berdurasi dua jam sebagai salah satu contoh konsep Pakeliran Padat yang diusung Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dan diciptakan oleh dalang ternama almarhum Gendon Humardani pada 1980-an. Untuk mendekati penonton muda, konsep Pakeliran Padat meringkas pentas wayang semalam suntuk menjadi durasi beberapa jam.

Upaya menjaring kaum muda tak hanya disuguhkan Ki Bambang Asmoro dengan menggunakan konsep Pakeliran Padat. Namun juga lewat kolaborasi dengan bidang seni lainnya. Meski demikian, penggunaan bahasa Jawa klasik tetap dirasa menjadi kendala, walaupun dari sisi aspek rasa, memang lebih mantap menonton pertunjukan wayang dalam versi bahasa aslinya.

Dewi Ria Utari