Senin, 22 Desember 2008

WAYANG: KERJA, KARYA DAN DHARMA 1



WAYANG: KERJA, KARYA DAN DHARMA

Kilas Kisah Wayang di Jawa

Pernah diungkakan bahwa bagi orang Jawa “antara pekerjaan, interaksi dan doa tidak ada
perbedaan prinsip hakiki” (Magnis-Suseno, 2001: 82) dengan demikian setiap aktivitas atau
gerak diri sepenuhnya dikontrol oleh ‘kesadaran akan’. Dan derivasi dari seluruh filsafat Jawa
adalah ‘mematenkan’ pengetahuan itu dalam sebuah karya. Hakikatnya, karya adalah puncak
pengejawantahan hidup yang sesungguhnya bagi orang Jawa.

Dari jaman gemilang itu dikenal dan dikenanglah berbagai Pujangga, Pustaka, Pusaka dan
Pusara, sebagai museum hidup: situs dan ritus kebudayaan, bahkan hingga keberadaannya
hari ini. Namun demikian patut dicatat, pasca Ronggowarsito yang sering disebut sebagai
pujangga penutup, atau pasca jatuhnya laskar-laskar Diponegoro (1825-1830), wajah Jawa
banyak mengalami pergeseran dan perubahan. Jawa tidak lagi menghasilkan daur hidup yang
sejatinya. Hal ini diperparah lagi bahwasanya priyayi-priyayi Jawa sebagai kelas menengah
dalam struktur hierarki sosial Jawa tidaklah memainkan peran yang cukup signifikan. Namun
kemerosotan itu tertutupi dengan sosialisasi kesenian di tengah masyarakat—sebab memang
hanya itulah yang dapat mereka lakukan. Mengomentari situasi tersebut, dalam sebuah
terbitannya 42 tahun lalu, Anderson mengatakan,

“Di pedesaan perubahan terjadi dengan lebih lambat, dan disanalah budaya jawa yang
tua paling kuat mempertahankan pegangan atas jiwa manusia. Meskipun demikian,
musim gugur telah tiba. Pada pohon kebudayaan Jawa daun-daun jatuh satu per satu”
(2003: 70).

Yang ada bagi Jawa hari ini adalah kebudayaan sebagai komoditas, utamanya komoditas
wisata. Satu yang tersisa, katakalah demikian, adalah WAYANG. Bagaimanapun bentuknya
kini kesenian ini dapat terus bertahan—walau toch tetap berada dalam nuansa yang
mengharukan—dan ia dipercaya sebagai salah satu gawang pertahanan terakhir Jawa hari ini.
Padanyalah Jawa sebenarnya menyandarkan diri.

Tidak ada komentar: