Selasa, 23 Desember 2008

Narasoma – Salya: sisa catatan dari Festival Wayang

Siapa mampu menebak kecamuk hati Narasoma ketika sang mertua memohon kematian padanya dan dengan demikian Narasoma akan mewarisi kesaktian sang Begawan?

Begawan Bagaspati adalah sosok orang tua dengan kasih sayang yang luar biasa dalam terhadap putrinya. Tak sanggup dilihatnya kegundahan sekaligus keteguhan hati Pujawati yang jatuh cinta pada Narasoma, satria muda Mandaraka, seorang ksatria muda pengelana, rupawan berkelana, dan kesaktian sukit tertandingi.Bagi Bagaspati,apapun rela ditempuhnya demi mempersembahkan gegantilaning ati sang anak।


Melihat sosok tubuh begawan yang mirip raksasa menyisakan keraguan dalam diri Narasoma, ketika dia dipinang sang begawan sebagai menantu. Terlebih dia sama sekali belum pernah bertemu si perempuan. Tentu saja sulit diterimanya tawaran ini. Namun, Narasoma tidak menyadari siapa Begawan raseksa yang dihadapinya. Pinangan itu berubah jadi pertarungan seru calon mertua dan menantu. Narasoma akhirnya menyadari kehebatan sang begawan. Dia pun bertekuklutut pada sang begawan, dan rela dipertemukan dengan putrid begawan, Pujawati. Siapa sangka, meski bapaknya seorang raseksa, Pujawati adalah seorang perempuan berparas gemilang. Terpikatlah seketika hati Narasoma semenjak kali pertama kerjapan. Maka Narasoma dan Pujawati pun memutuskan menjalani sisa perjalanan hidup mereka bersama-sama.Lantas, mengapa kemudian Begawan Bagaspati meminta kematiannya kepada Narasoma? Pengorbanan lain demi sang anak?


Terasa sedikit ganjil ketika Begawan justru memohonkan perpisahan dengan putri yang amat dicintainya।


Lalu bagaimana sesungguhnya dengan Narasoma sendiri? Apakah keraguan membunuh sang mertua itu sempat meruap di benaknya? Apapun jawabannya, yang terjadi kemudian senjata itu begitu saja menghujam tubuh sang Begawan.Pun tak kita tahu, pada siapa saja kematian sang begawan menaburkan luka. Apakah di selasar hati Narasoma juga teronggok penyesalan? Pilihan apa saja yang sebenarnya dia tarima ketika sang Begawan menyodorkan diri padanya, dan bersedia menitiskan ilmu kadigdayannya pada sang menantu? Apakah pada malam matinya sang begawan saya terlalu curiga pada sosok Narasoma, bahwa sejatinya dia memang mengincar ilmu sang Begawan?Sang dalang pun, Ki Sugiyarto agaknya lupa untuk menggedor pintu Narasoma, untuk meneropong hatinya lebih dalam. Dan rasa penasaran saya ini masih saja di tersungkur di sudut isi kepala saya.Namun saya mencoba mengikuti ajakan dalang dari Yogyakarta,Ki Hadi Sutikno, untuk mengenali Narasoma dewasa, Prabu Salya, penguasa Mandaraka. Duryudana mendaulat Salya sebagai Panglima perang Kurawa usai kematian Karna di Kurusetra. Namun, swatama meragukan kesetiaan Salya pada Kurawa,.Awalnya tak terbersit keberpihakan saya pada kecurigaan Aswatama।


Namun siapa sangka, ternyata padang Kurusetra sesungguhnya telah beralih dalam hati Salya malam itu. Dia mengingat sang adik, Madrim, yang telah menikah dengan Bima, salah seorang ksatria Pandawa, berputerakan si kembar Nakula-Sadewa. Salya merasakan sayatan di hatinya kian menganga ketika menyaksikan sorot mata keponakan kembarnya. Susah payah dicobanya untuk membalut luka yang kian perih ini, namun jawaban atas rasa perih itu sepertinya telah begitu dikenalnya. Jawaban itu ada dalam ingatannya,dalam pesan Begawan Bagaspati, sebelum akhirnya dia menyerah diujung senjata Salya. Jawaban itu telah digaungkan jauh-jauh hari sebelum hari kesenopatiannya. Jawaban itu bicara tentang kematian dan ksatria berdarah putih. Salya seolah telah tahu bahwa waktunya telah tiba. Dia pilih Yudhistira menjadi lawannya.Dan tak pelak lagi, Jamus Kalimasada pun memungkasi kehidupannya।


Dan lihatlah, hati Salya tak pernah berontak dengan kenyataan itu. Mengapa Salya bisa demikian legawa dengan kematiannya? Sungguhkah hanya karena kecintaannya pada Madrim? Ki Hadi Sutikno sendiri menimbang bahwa Salya memang terbelit dalam pergulatan antara rasa sayangnya pada Pandawa dan kewajibannya membela negara, dan dia memilih kata hatinya.Sedikit berbeda dari sanggit para dalang di atas,seorang kawan saya mencoba mengingat Narasoma dalam diri Salya। Ingatan tentang bagaimana dia merenggut kehidupan Bagaspati di masa lalu. Dan, seolah Salya tengah memetik buah karma masa lalunya, dorongan hatinya lah yang memaksanya untuk melepaskan kehidupannya, seperti halnya dia memaksa kematian Begawan Bagaspati.


Kisah Narasoma dan Salya ini adalah beberapa yang ditampilkan dalam Festival Wayang Nasional II di Taman Budaya Yogyakarta। Keduanya mencoba membaca latar belakang keputusan Salya yang cukup rumit untuk dimaklumi. Keputusan mengakhiri hidup mertuanya dan keputusan menyerahkan kematiannya pada Puntadewa.


Meski demikian, tentunya ini semua adalah tarik-menarik di ranah penafsiran bagi seorang dalang. Baik tentang keinginan Narasoma, dorongan hati Salya ataupun karma yang mengikutinya. Dan kesanggupan sang dalang dalam memainkan nalar menjadi penentu keruntutan penafsiran ini. (atiek)

Tidak ada komentar: