Senin, 22 Desember 2008

WAYANG: KERJA, KARYA DAN DHARMA 3


Wayang menjadi suatu bentuk kesenian yang khas, utamanya karena sebenarnya ia berasal
dari tradisi keraton namun kemudian justru hidup dalam rakyat kebanyakan. Menurut Geertz
(1981: 358) ini karena sifat rakyat kebanyakan cenderung ritualis, politheis dan magis
sementara para priyayi cenderung dekat yang mistik-pantheis dan spekulatif.

Secara sosial wayang memiliki posisi istimewa karena ia dianggap sebagai salah satu bentuk kesenian yang mampu menjembatani sekat-sekat yang ada. Ben Anderson (2003: 12) menyebutnya sebagai,

“....mitologi religius yang diterima hampir secara universal, yang mampu membina
suatu keterikatan intelektual dan emosional yang mendalam. (...) mitologi wayang
Jawa adalah suatu upaya untuk menjelajahi secara puitis posisi eksistensial orang
Jawa, hubungan-hubungannya dengan tatanan alam nyata dan dunia gaib, kepada
sejawatnya dan kepada dirinya sendiri. Sangat kontras dengan agama-agama besar
Timur Dekat, bagaimanapun, ‘agama’ wayang tidaklah memiliki Nabi, Kitab Suci
atau Sang Penebus. Tradisi ini tidak memandang dunia dalam perlintasan gerak yang
linear, ataupun mengkhotbahkan pesan keselamatan universal. Tidak juga dia
menawarkan ekstase sebagaimana pewahyuan masa depan seperti dalam tradisi
Kristen, semata pasang-surut Waktu yang ajek”.

Penjelasan Anderson ini menunjukkan relativisme wayang, termasuk nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, yang mungkin sejalan dengan penjabaran istilah wayang yang
ditengarai berasal dari kata bayang. Yang dikotomis dalam wayang adalah logika
komplementer yang paling mendasar dari hidup. Yang dikotomis ini tidak saja berlaku pada
saat atau kejadian melainkan juga pada tokoh, peran, karakter dan fungsi mereka yang
bersinggung satu sama lain dan Anderson menyebut seluruh persinggungan ini sebagai
“ketegangan yang selaras dan kestabilan yang energetik dari Weltanschauung” atau mengikuti
rumusan Claire Holt, “dunia stabil yang didasarkan pada konflik”.

Ambillah sebagai contoh, Kresna Duta. Lakon terkenal yang menggambarkan turun
tangannya Kresna dalam Baratayuda. Kresna yang titisan Wisnu menjadi tokoh yang
mengetahui apa yang harus dan apa yang akan. Tidak ada yang merintangi kehendaknya
untuk mengikuti dan memenuhi ketetapan takdir. Pada lakon tersebut digambarkan
bagaimana empat ekor kuda beserta tokoh pengiringnya itu sebenarnya menjawab sifat
komplementer dari panteon hindu sekaligus serangan syirik (charges of ideolatry) yang kerap
ditudingkan kepada wayang, selain koneksitas Kalimasada milik Yudhistira dan Kalimat
Syahadat Sunan Kali Jaga.

Tidak ada komentar: