Selasa, 23 Desember 2008

Dari mengayak babak, hingga memoles tubuh pementasan

Sepepat apapun pakem memagari, pertunjukan wayang masih tetap menyisakan lautan penafsiran yang maha luas. 17 dalang telah merampungkan seluruh pertunjukannya di gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta tanggal 15 Desember 2008 kemarin.Soal pertama yang harus diselesaikannya adalah memadatkan pakeliran. Ki Hadi Sutikno, usai menampilkan kisah Salya Gugur, sekilas menyampaikan bahwa meringkas pakeliran juga memerlukan kemampuan tersendiri. Usaha mengayak babak pakeliran dari yang semula bermasa tujuh jam hingga menjadi satu jam saja bukan hal mudah. Dalang dituntut memahami benar cerita sehingga cerita tidak kehilangan jantungnya ketika tampil dalam waktu singkat.

Mengoptimalkan pertunjukan wayang yang singkat ini telah membuka tantangan seluas-luasnya bagi para dalang. Pelbagai inovasi pertunjukan membuat Festival wayang ini menjadi agenda yang mengesankan.Elemen-elemen tubuh pertunjukan mulai dari sabet, catur, dan iringan yang kesemuanya akan mendukung tersampaikannya lakon akan menjadi ajang kebebasan para dalang untuk menumbuhkan ruh dalam pertunjukan. Yanusa Nugroho, sastrawan yang duduk sebagai salah satu juri, mengakui ketersimaannya pada suguhan beberapa dalang peserta. Ki Sigid Ariyanto dianggap memiliki keterampilan sabet yang amat menonjol. Penonton berkali-kali memberikan tepuk tangannya atas aksinya di pakeliran.Lain lagi dengan Ki Apep Hudaya dari Komda Jawa Barat. Tampil pada hari yang sama dengan KI Sigid Ariyanto, Ki Apep Hudaya kentara menjadi pesaing berat bagi Ki Sigid. Ki Apep mampu meramu dengan apik komposisi dialog, cerita, dan sabet, misal dalam adegan kemarahan Rahwana pada adiknya Kumbakarna yang menolak melawan Rama. Yanusa juga menyampaikan keindahan penafsiran Ki Apep dalam adegan Kumbakarna yang gugur di pelukan Wibisana, yang mampu memanggil rasa trenyuh penonton baik dalam tuturan maupun tampilan gerak wayang. Di sini Ki Apep mampu menonjolkan sisi-sisi manusiawi dalam suasana kekejaman perang. Baik Ki Apep maupun Ki Sigit, Yanusa menambahkan, merupakan dalang-dalang muda yang bisa menyalakan apresiasi kaum muda pada wayang.

Untuk dalang dari generasi yang lebih dulu, Ki Hadi Sutikno telah mampu menjembatani jeda ruang pementasan wayang klasik dengan pementasan untuk tuntutan kekinian. Ki Hadi Sutikno menyajikan komposisi lakon dan catur yang rapi, mengelola waktu dengan pas, tetap mengunggulkan karawitan klasik, dialog yang ringan mudah dicerna, membuat penonton dari kalangan muda pun menikmati sajiannya. Mungkin sabetan Ki Hadi Sutikno tidak seinovatif para dalang muda, tetapi ini tidak lantas pementasan Ki Hadi menjadi hambar. Dari keseluruhan pagelaran festival wayang ini, Yanusa melihat bahwa tujuan untuk menggugah apresiasi kaum muda sebagian besar telah berhasil.

Para dalang telah dianggap sukses membaca tuntutan kekinian, tanpa meninggalkan esensi tradisi.

Gong fantastis yang lengah pada ceritaDari keseluruhan penampil yang hadir sebagai peserta, penyaji terakhir dari Komda Jawa Timur , Ki Cahyo Kuntadi mampu menarik perhatian penonton. Menggarap cerita ‘Abimanyu Ranjab’, Ki Cahyo Kuntadi, yang kerap dipanggil Yoyok ini, mampu menghanyutkan penonton ke dalam suasana cerita. Dia memoles tubuh pertunjukan dengan warna-warna ajaib ‘Abimanyu Ranjab’ mengisahkan masa-masa menjelang kematian Abimanyu di bharatayuda. Persiapan kurang lebih satu setengah bulan nampaknya membuahkan hasil cemerlang. Dalam pementasannya, seluruh elemen pementasan digarap dengan sangat apik. Tubuh pementasan wayangnya menjadi begitu berwarna dan dinamis. Dalang yang telah menyelesaikan S2 dalam Kajian Pedalangan dan Teater ini mengaku banyak terinspirasi penampilan Ki Purbo Asmoro, salah satu pengajarnya di ISI

Surakarta. Iringan yang ditangani Setiaji dan script yang digarap oleh Tri Wahyu Widodo juga tak kalah inovatif, dan seolah-olah mampu membius penonton hingga enggan beranjak untuk meninggalkan ruangan. Setiap menit seolah menggiring ketersimaan penonton. Percintaan Abimanyu dan Utari,suasana perang di padang kurusetra, tewasnya Sumitra sang Kusir Abimanyu, ribuan ujung panah yang lesat dari gandewa, hingga gugurnya Abimanyu sendiri diolah dengan begitu mengesankan.

Namun demikian, beberapa pihak menilai bahwa Yoyok tersandung dalam menggarap lakon. Yoyok beranggapan bahwa ketidakmampuan Abimanyu menepati janjinya kepada sang istri Sri Sundari, dengan tindakannya menduakannya dengan Utari, adalah karma yang harus ditebusnya. Sanggit tentang latar belakang kematian Abimanyu ini dianggap terlalu remeh. Yoyok dinilai masih perlu melakukan perjalanan lebih jauh, menggali latar belakang cerita dengan lebih luas. Yanusa Nugroho adalah salah satu yang terkesan dengan penampilan Yoyok. Meski demikian, menurut hematnya elemen iringan digarap dengan terlampau padat, hingga membuat penonton terengah-engah mengikutinya dan tak berkesempatan menghela nafas. Namun, kekurangan-kekurangan tersebut tampaknya tak begitu berarti, jika kita saksikan bagaimana klimaks dibangun dengan sangat anggun. Setelah suasana perang yang kacau, dengan iringan gamelan berirama gegap gempita dan cepat, saksikan bagaimana dalam gerka lambat Abimanyu menangkis ribuan anak panah yang bertubi mengarah padanya.Dramatis dan menggetarkan. Dengarkan pula lengkingan suara magis Sukesi yang mengiringi geliat tubuh sang ksatria. Suaranya telah meniupkan aroma haru dan trenyuh yang kental, hingga penonton pun merasa merinding. Siapa mampu menampik pesona ini? Dengan ngungun, saya bertanya-tanya, sungguhkah ini sebuah pertunjukan wayang? Sungguh fantastis! (atiek).


Tidak ada komentar: