Senin, 22 Desember 2008

WAYANG: KERJA, KARYA DAN DHARMA 8


Kenyataan itu sangatlah paradoks, namun di titik itulah kemanunggalan justru mawujud. Semar pun menjadi esensi dan padanyalah mengerucut segala kebijaksanaan. Semar adalah Dewa tapi ia sekaligus Manusia dan walau manusia ia bukan sekedar manusia. Semar adalah samar dan ia bukan sembarang.
Dalam “Semar Mencari Raga”, Sindhunata menganalogikan Semar sebagai pohon Mandira yang tumbuh diantara bulan dan matahari. Semar yang tengah risau karena ia menganggap diri tidak mengetahui dan mengenal dirinya sendiri akhirnya mendapat titah dari Sang Hyang Tunggal untuk mencari raga.

Sebelum keberangkatannya, Sang Hyang Tunggal berkata kepada Semar, “Pohon Mandira itu adalah pohon petang dan terang, pohon itu tidak memisahkan matahari dan bulan, siang dan malam. Maka kau adalah samar, ya Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihat kegelapan dan terang, kebaikan dalam kejahatan (...) Wajahmu pucat seperti mayat. Kau bagaikan manusia yang sudah sirna.

Dalam hidupmu Semar, sudah terkandung kematian. Hanya kehidupan yang berani
membawa kematian dalam dirinya, kehidupan itulah yang akan berlanjut dengan
keabadian (...) Kau adalah dhudha nanang nunung. Dadamu bersusu seperti wanita.
Namun kau berkuncung seperti pria. Maka sulitlah memastikan apakah kau lelaki atau
wanita. Kau kuat seperti lelaki. Kau subur bagaikan wanita. Kau adalah bapa langit
dan ibu bumi. Rupamu jelek, Semar, namun dalam dirimu lelaki dan wanita bersatu.
Dalam dirimu, lelaki hidup bukan karena kegagahannya, wanita hidup bukan karena
kecantikannya. Dalam dirimu, Semar, lelaki dan wanita hidup dan berada karena
cinta. Maka kau, yang jelek, sang dhudha nanang nunung ini juga adalah juga Sang
Asmarasanta. Melihat dirimu, Semar, walau rendah, sudra dan papa, orang akan
tertarik akan keutamaan, karena dalam dirimu ada sejatinya cinta lelaki dan wanita”
(1996: 10-12).

Begitu pentingnya tokoh ini sampai-sampai pada perkembangannya kemudian Semar
dikaitkan dengan wacana kekuatan rakyat, khususnya petani. Stange (1998: 138) mengatakan,
“sejak era India, gerakan petani telah mengkristal dengan berbagai harapan bahwa ratu adil
yang baru akan muncul untuk memperbaiki tatanan jaman yang kacau dan mengembalikan
masyarakat dalam keseimbangan dengan alam”.

Dengan demikian posisi Semar yang menjembatani massa rakyat dengan keraton atau poros kekuasaan memang menjadi ideograph yang penting bagi para milenaris. Condongnya gagasan
‘perebutan kekuasaan’ menjadi daya tarik yang kemudian berusaha di kelola pada masa pasca Indonesia Merdeka. Kasus paling nyata adalah, sebut saja manuver politik yang dilakukan oleh
Preseiden kedua RI, Soeharto untuk meng-counter para oposannya. Pada masa awal naiknya, Soeharto melegitimasi kekuasaannya dengan sepenggal surat yang terkenal dengan sebutan Supersemar, Surat Perintah 11 Maret (1966).

Stange sendiri kemudian menafsirkan bahwa Soeharto berusaha memainkan mitos
Sabdopalon—sebagai reinkarnasi Semar pada masa akhir berdirinya Majapahit—dan
mengutipnya seakan dialah yang memperolah wahyu yang telah dijanjikan sabdopalon itu.
Seperti telah dijelaskan, Majapahit memang dianggap sebagai puncak dari pertemuan diri
dengan diri. Artinya, orang Jawa merasa disanalah puncak hakikat Jawa berhasil
dimanifestasikan. Dalam cerita Darmogandhul memang dituturkan bahwa setelah kejatuhan
Majapahit, jati diri Jawa juga akan sirna bersamaan dengan sirnanya Sabdopalon. Tetapi
Sabdopalon mengatakan bahwa akan ada masanya ‘jaman buda’ yaitu jaman ketika seorang
Jawa kembali berkuasa dan rakyat Jawa akan menemukan jati dirinya kembali setelah 500
tahun dari saat itu (Lih. Nurul Huda, Tokoh Antagonis Darmo Gandhul: Tragedi Sosial
Historis dan Keagamaan di Penghujung Kekuasaan Majapahit. Yogyakarta: Pura Pustaka,
2005).

Bentuk Kesenian wayang pada gilirannya terus mengalami geliat. Bermacam sanggit sampai
dengan bentuk pertunjukan baru yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat hari ini terus
dikembangkan. Kini, apa atau bagaimanapun bentuknya kita hanya bisa berharap bahwa satu
kesenian tradisi ini tidaklah kehilangan nilainya. (catatan ini merupakan bagian dari kajian “Politik Identitas Jawa-Cina”, Cin, 2008)

Tidak ada komentar: