Selasa, 29 September 2009

Dalang


Dalang, oleh Ki Bambang Asmoro

Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun - temurun dari leluhurnya. Seorang anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di belakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan dimainkan.

Selama mengikuti ayahnya "ndalang" dalam kurun waktu yang lama -dari kecil hingga remaja- inilah proses pembelajaran itu terjadi dengan sangat alami, dan rata-rata anak dalang akan bisa mendalang setelah besar nanti. Tetapi banyak juga seorang anak dalang tidak akan menjadi Dalang di kelak kemudian hari, karena mempunyai pilihan hidup sendiri, misalnya berprofesi menjadi pegawai negeri, swasta, TNI dan sebagainnya.

Tetapi fenomena itu tidak selamanya benar, dengan adanya sekolah-sekolah pedalangan baik setingkat SMU dan perguruan tinggi, seperti Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (STSI) misalnya (sekarang Institut Seni Indonesia Surakarta), mencetak Sarjana pedalangan yang tidak hanya mumpuni memainkan wayang tetapi juga berwawasa luas dan berpikir kritis. Dalam perguruan tinggi inilah lahir pula dalang yang bukan dari keturunan seorang Dalang, tetapi hanya seseorang yang mempunyai niat yang kuat untuk belajar dalang dan akhirnya bisa mendalang.

Kata Dalang ada yang mengartikan berasal dari kata Dahyang, yang berarti juru penyebuh berbagai macam penyakit. Dalang dalam "jarwo dhosok" diartikan pula sebagai "ngudal piwulang" (membeberkan ilmu), memberikan pencerahan kepada para penontonya. Untuk itu seorang dalang harus mempunyai bekal keilmuan yang sangat banyak. Berbagai bidang ilmu tentunya harus dipelajari meski hanya sedikit, sehingga ketika dalam membangun isi dari ceritera bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai kekinian.

Dalang adalah seorang sutradara, penulis lakon, seorang narator, seorang pemain karakter, penyusun iringan, seorang "penyanyi", penata pentas, penari dan lain sebagainya. Kesimpulannya dalang adalah seseorang yang mempunyai kemampuan ganda,dan juga seorang manager, paling tidak seorang pemimpin dalam pertunjukan bagi para anggotanya (pesinden dan pengrawit)

Simpingan

Simpingan dalam wayang kulit berarti boneka wayang yang diatur berjajar pada kelir di sisi kanan -kiri dalang yang ditata sedemikian rupa. Simpingan merupakan salah satu unsur pergelaran wayang kulit.

Keberadaan simpingan dalam wayang mempunyai beberapa fungsi antara lain; sebagai hiasan (pajangan) agar bisa dinikmati oleh penonton, untuk mempermudah dalang dalam mencari dan mengambil wayang, sebagai tanda akan adanya pergelaran wayang kulit,untuk menunjukan kualitas dan kuantitas wayang. Disamping itu simpingan mempunyai makna simbolik bagi masyarakat pendukungnya.

Pada zaman dulu simpingan hanya terdiri dari puluhan wayang. Karena memang jumlah wayang satu kotak berkisar antara 180-250 wayang, tetapi sekarang terutama di kota-kota besar, jumlah simpingan sangat banyak antara 250 - 500 wayang. Hal ini karena tuntutan pasar dan biasanya pergelaran di kota besar ditempatkan pada lapangan terbuka. Sehingga diperlukan penataan simpingan yang panjang.

Simpingan wayang ditata sedemikian rupa berdasarkan golongan, warna muka, bentuk muka,arah pandangan muka, bentuk bibir, bentuk mata, warna badan, jenis pakaian, jenis jangkahan dan sebagainya. Simpingan wayang dikatakan bagus jika enak dipandang, seimbang dan "ribig" artinya antara bahu dan palemahan wayang dari yang paling tinggi hingga yang terpendek sejajar bila ditarik garis lurus. Penataan simpingan wayang yang baik dapat dijumpai pada pergelaran wayang di Jakarta.

Berita mulai adanya simpingan baru ada pada abad ke XII seperti yang tercantum pada Serat Wrettasancaya bahwa pertunjukan wayang kulit saat itu sudah menggunakan simpingan. Adapun teks yang melukiskan adanya simpingan ditulis oleh Empu Tan Akung dengan bahasa jawa kuno pada bait 93 pada Sekar Ageng Madraka ditulis;

" Lwir mawayang tahen gati nikang wukir kineliran himarang anipis/ bung-bung ingkang petung kapawanan/ ya teka tudungnya munya hangrangin/ peksi ketur salundingan ika kinangyani pamangsul ing kidang alon/ madraka sabdaning mrak alango / pangidungnya mangrasi ati". (Hazeu 1978:42)

Kern menterjemahkan ke dalam bahasa jawa sebagai berikut"

"Nalika semanten katingal sakalangkung asri raras, Redi-redi pating regemeng, sakathahing wit-witan kados ringgit, tumawenging mega tipis lamat-lamat kados rupining kelir, deling ingkang growong kados ungeling tudungan,mungel angrangin anganyut manah, pamelunging peksi ketur (manuk gemak) kados ungeling kempul lan gongipun. Cumengering kidang lamat-lamat kados swantening saron ngelik kaimbalaken, dene ungeling merak ngigel lelaken kados kekidungan sekar madraka angrerujit manah".

Terjemahan bahasa Indonesia:

"Ketika itu pemandangan alam sangat indah dan permai selaras adanya. Gunung-gunung bertanaman penuh, Pohon-pohonya laksana wayang kulit yang ditancapkan pada gedebog. Mega tipis yang hampir tak kelihatan meliputi alam laksana kelir. Bambu-bambu petung berlobang tertiup angin menimbulkan bahana laksana tudungan (suling) yang seakan -akan datangnya dari jauh, sangat menarik hati. Suara gemak terdengar laksana suara kempul gong. Diantara kesemuannya itu suara teriakan Kijang dari jauh terdengar sayup-sayup menyamai bunyi saron yang dipukul imbal (bergantian). Suara burung merak yang melampiaskan hasrat asmaranya, suaranya terdengar sangat merdu laksana lagu madraka yang meluluhkan hati.(Seno Sastroamijoyo 1964 : 19)

Bukti lain bahwa pertunjukan wayang pada abad XII menggunakan kelir juga terdapat dalam Serat Bomakawya pada diskripsi Raden Samba ketika melintasi daerah pegunungan yang dilukiskan sebagai berikut;

"'Lumaku tikang ratha gelis, palapat hanar kajawahan hawan ira sumare saking geger,papagan katon kakeliran limut awayang,ulah nikang pisang'" (Bomakawya VI : 3).

Terjemahan bahasa Indonesia

"Kereta membawa dengan cepat lewat jalan punggung gunung menuju satu tempat yang datar dan baru saja dibasahi oleh turunnya hujan. Sawah-sawah terselubung kabut seolah-olah tersembunyoi di belakang kelir. Pohon pisang yang bergoyang-goyang lembut bagaikan boneka wayang". (Zoetmulder 1985 : 266).

Selanjutnya timbulnya simpingan dapat diketahui pada zaman Demak ketika Raden Patah menjabat sebagai raja. Boneka wayang kulit sudah mengalami perunahan bentuk dan penambahan wayang baru oleh para Wali, hal ini dikemukakan Hazeu sebagai berikut;

"Sunan Giri menambah wayang berujud kera dengan dua mata seperti raksasa. Sunan Bonang menambah wayang berupa Gajah,Kuda dan Rampogan. Sedangkan Suna Kalijaga menambah peralatan wayang kulit berupa layar, batang pisang,untuk menancabkan wayang serta Blencong (lampu) untuk penerangan. Sultan Demak menambah wayang Gunungan yang ditancapkan di tengah kelir serta cara-cara menyumping (mengatur wayang di layar) yakni dengan cara di tancapkan berjajar pada sebelah kanan kiri Dalang agar cukup untuk mendalang satu malam.

KELIR

Kelir di dalam istilah pedalangan lebih menunjuk kepada layar tempat memainkan boneka wayang.Sedangkan istilah lain juga berarti warna, misalnya saya memakai baju dengan kelir merah, berarti memakai bau berwarna merah. Kelir dalam kaitannya dengan pergelaran wayang adalah sebuah layar berwarna putih benbentuk empat persegi panjang dengan panjang 2 hingga 12 meter dan lebar 1,5 hingga 2,5 meter. Seperti dikataka oleh Redi Suta seorang dalang Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta bahwa panjang kelir yang dipergunakan oleh Keraton Surakarta antara 3,75 meter sampai 4 meter. Kelir ukuran 3,75 meter untuk pementasan wayang Kyai Para, yang dalam pergelaranya boleh dilihat oleh penonon umum dan peralatan ini juga disewakan kepada masyarakat luas yang membutuhkannya. Sedangkan kelir panjang 4 meter untuk wayang Kyai Jimat, Kyai Kadung dan Kyai Kanyut. Ketiga jenis wayang ini hanya dipergelarkan khusus untuk keluarga Raja saja.Di daerah Surakarta panjang kelir antara 2meter ,3,75 meter,4 dan 6 meter. Hal tersebut karena masyarakat pedalangan di Surakarta meniru atau berkiblat kepada ukuran kelir yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta. Kelir yang terpendek biasanya hanya digunakan untuk kebutuhan belajar bagi para calon Dalang, tanpa menggunakan simpingan.

Menurut K.P.A Kusumadilaga, bagian kelir baik panjang dan lebarnya dibagi menjadi tiga bagaian, pertama bagian tengah diukur dari tengah-tengah kelir dimana terdapat Blencong atau lampu untuk menerangi pergelaran. Kedua, bagian samping kanan jaraknya satu lengan dari tangan kanan Dalang, diperuntukan sebagai tempat simpingan wayang kanan. Ketiga, bagian kiri, jaraknya satu lengan lebih satu jengkal dari tangan Dalang, sebagai tempat simpingan wayang kiri. Mengapa bagian kiri kelir yang untuk memainkan wayang lebih panjang satu jengkal dibagian kanan Dalang? hal ini untuk mengantisipasi adegan kerajaan, karena kiri tempat pungawa raja menghadap, yang jumlahnya pasti lebih banyak dibandingkan sebelah kanan yang untuk menancapkan Raja dan dayang-dayang saja. Sedalngkan lebar kelir Menurut Kusumadilaga dibagi tiga baian juga. Pertama, bagian atas yang disebut dengan langitan, bagian tengah jagatan dan bagian bawah palemahan (Kamajaya, Sudibya Z.Hadi Sucipto 1981:51-52).

Kelir ini terbuat dari bahan kain sejenis catoon bukan nilon atau orang jawa sering menyebutnya mekao. Bahan ini dipilih karena tidak terlalu licin sehingga jika wayang ditempelkan ke kelir tidak akan mudah goyang ke kanan dan ke kiri, dalang bisa mengendalikan gerak wayang dengan mudah.Di semua sisi pinggirnya kelir di balut dengan kain warna hitam, dengan lekukan tertentu. Sisi atas disebut sebagai pelangitan sedangkan sisi bawah disebut palemahan. Disebut pelangitan karena letaknya diatas dan difungsikan sebagai langitnya wayang. Bila suatu tokoh boneka wayang dalam posisi terbang, maka akan sampai menyentuh kelir bagian atas ini. Sedangkan palemahan berasal dari kata "lemah" yang berarti tanah sehingga dalam pakeliran lebih difungsikan sebagai tempat berpijaknya wayang. Jika tancepan wayang diatas garis palemahan, wayang tersebut akan terlihat mengambang. Sisi kanan kiri kelir dijahit berlubang untuk tempat meletakkan sligi, yakni semacam tiang kecil yang terbuat dari bambu atau kayu untuk membentangkan kelir di bagaian kanan dan kiri yang ditancapkan pada batang pisang di bagian bawahnya sedangkan bagian atas dihubungkan dengan gawangan kelir. Disi atas dan bawah kelir juga di jahitkan besi benbentuk bulatan atau segitiga kecil yang berfungsi untuk mengencangkan kelir dengan tali di bagian atas yang bernama pluntur dan dengan placak atau placek di bagian bawah.

Informasi tentang pertunjukan wayang menggunakan kelir sudah ada sejak abad XII, seperti yang termuat dalam kitab Wrettasancaya yang dilukiskan dengan kata-kata "Lwir mawayang tahen gati nikang wukir kineliran himarang anipis". Tulisan tersebut diterjemahkan oleh Kern "Semua pepohonan seperti wayang dengan mega-mega yang mengawang menutupi seperti kelir atau layar. (Hazeu 1978:42). Berita lain adanya kelir juga termuat dalam Kitab Tantu Panggelaran, bahwa pertunjukan wayang sudah menggunakan keli. Hal itu diceritakan turunnya para dewa ke mayapada yakni, Batara Icwara (Syiwa), Batara Brahma dan Batara Wisnu mendalang dengan menggunakan peralatan pangung dan kelir atau layar. (1979: 42-44).

Pada perkembangannya bentuk kelir ini tidak hanya benbentuk empat persegi panjang, tetapi untuk kebutuhan tertentu kelir ada yang dibuat dengan bentuk setengah lingkaran sebagaimana separoh bola dunia dengan bergambarkan pulau-pulau di sisi bagian atas. Kelir sangat berkaitan erat dengan gawangan kelir, gedebog, tapakdoro, kotak wayang, keprak, samir/semyok.(Bambang Asmoro/wiki)

Rabu, 22 April 2009

TERLAMBAT KE SWARGALOKA?!

metro-sunday review dari “Pertemuan Dua Hati”


Cin Hapsarin
catatan seorang penunjung


Hari ini 19 April 2009, teman saya memacu motor lebih cepat. Langit mulai gelap dan yang pasti kami sudah terlambat ke Swargaloka. Untunglah hari ini hari Minggu dan tidak ada macet seperti biasa. Mengenai swargaloka itu, jangan cepat membayangkan yang tidak-tidak... Surga ini adalah bagian dari pentas drama wayang yang digelar oleh The Indonesian Opera - Yayasan Swargaloka bekerja sama dengan Sena Wangi di TMII, judulnya...ah, bahkan sampai memasuki tempat pertunjukan saya tidak ingat apa judul pentas kali ini. Saya hanya antusias datang karna mendapat undangan di Face Book. Satu-satunya bekal saya adalah jadwal alias waktu serta tempat, sementara sisanya—sinopsis, dll—saya abaikan. Sudah pasti jika di kepala saya wayang urban Nanang Hape atau Sandyakala Kurusetra Bambang Asmorolah yang menjadi referensi, tapi ternyata...

Memasuki ruang jelas saya langsung terhadang masalah karna datang tanpa undangan. Waduh, saya pikir undangan Face Book itu cukup tapi ternyata yaa... Berhasil melewati masalah itu saya langsung diantar Mas Panuju masuk ke gedung pertunjukan. Saya tidak tahu saya duduk di baris ke berapa kerna ruangan cukup gelap. Berhasil memperoleh tempat yang cukup nyaman saya mulai mengamati pertujukan. Komentar pertama yang saya dengar dari seorang kawan adalah...”aduh, tidak bawa kamera...bagus ni...lumayan buat masuk rubrik lifestyle.” Saya tak hirau karena harus segera merangkum jalannya pertunjukan untuk menjembatani keterlambatan tadi. Di panggung tampak Kunti tengah bersenandung untuk mengantar Karna anaknya, larung pada sebuah sungai. Dan sebelum masuk ruang saya coba melihat judul pentas, “Kunti: Pertemuan Dua Hati”.

Saya terkesima. Di latar belakang tampak aliran sungai yang dibuat dari plastik bergelombang mengalir dengan riap-riap kecil. Beberapa penari mengitari ibu para Pandawa, menarikan kemelut hati ibu yang harus merelakan kepergian anaknya. Cahaya dengan berbagai warna bergerak mengiringi langkah mereka. Balutan apik kostum para pemain tampak menonjol menghasilkan sebuah perpaduan indah. Lain itu, telinga saya benar-benar dimanjakan dengan musik garapan Dedek Wahyudi yang ’penuh gairah’. Nada-nada itu berhasil menggelitik ingatan sekaligus kerinduan saya pada sebuah pentas dan laku di sebuah dusun di kaki Merapi. Saya kembali duduk di tengah-tengah kitaran pohon dan orang-orang berkalung sarung dan kupluk penghangat kepala, meskipun tidak semua alat musik yang digunakan pada pertunjukan ini berasal dari Jawa. Sebuah Nusantara kecil berlompat-lompatan dari balik kepala saya...

Sambil bermain-main dengan imaji itu, tak lama muncul Gendari di atas pentas. Ibu 100 Kurawa ini tengah resah. Ia tak ingin tahta jatuh pada anak-anak Kunti. Destrastra yang cemas dengan obsesia Gendari hanya mengatakan kalau perempuan itu harus meniadakan iri hatinya. Tapi apa mau dikata, hasrat telah mengalahkan segala sesuatunya. Diri menjadi silau dengan keinginan - keinginan si sumber penderitaan.

Dalam pandangan sekilas saja saya segera tahu...pentas ini bukanlah pentas berbudget rendah. Semua ornamen, meski tidak selalu sempurna, selalu berusaha ditampilkan semaksimal mungkin. Tata panggung, lighting, kostum, terutama musik pengiring tentulah tidak dipersiapkan ala kadarnya. Semua didesain sedemikian rupa. Bagi saya pribadi ini adalah pertunjukan termewah yang saya saksikan setelah sekian waktu lamanya. Kilau ini membuat saya cepat memaklumi satu, dua hal kekurangan—teknis maupun non teknis—selama jalannya pertunjukan, yang secara keseluruhan dikomentari seorang kawan sebagai ’kegamangan pertemuan tradisi dan kontemporer’.

Di panggung cerita terus bergulir. Karna si anak yang hilang kemudian tumbuh bersama para Kurawa. Pada suatu kesempatan diceritakan pula bagaimana Durna yang menjadi guru bagi para Pandawa dan Kurawa menolak Karna. Penolakan itu membuka jalan bagi pertemuan Karna dengan Rama Bargawa alias Parasu di sebuah hutan, yang pada gilirannya membuat Karna menjadi murid pendeta gila itu. Parasu pulalah yang kemudian memberi tanda mengenai hubungan darah antara Kunti dan Karna. Pada adegan sebelumnya memang telah digambarkan keheranan Karna ketika Kunti justru membela dirinya ketika ia sempat berhadap-hadapan dan hampir saja bertarung dengan Arjuna. Tokoh Parasu yang dimainkan oleh Kodok (?) hadir dengan sangat eksentrik. Gaya bicara yang blak-blakan dan gestur yang cenderung seronok dalam arti seenaknya namun tetap berkepribadian benar-benar memikat hati pengunjung. Terutama ketika ia membawakan beberapa tembang Jawa ngoko, ingatan saya segera terlontar pada sountrack Before Sunset.

Perjalanan panjang yang berending pada pertemuan Karna dan Arjuna di ladang Kurusetra digambarkan melalui penggal-penggal adegan beralur maju-mundur. Adegan dimulai ketika Duryudana menolak menyerahkan Indraprasta pada Pandawa setelah mereka menyelesaikan hukuman selama 13 tahun. Adapun pertemuan Kunti dan Karna sebelum pertarungan dua bersaudara nampaknya menjadi lakon puncak yang menggambarkan bagaimana hati kedua sosok manusia yang saling mencintai sebagai seorang ibu dan anak ini. Karna, dengan segenap kenyataan sejarah tak terbantah, pada gilirannya menolak permintaan Kunti, ibunda tercintanya, untuk berpihak pada para Pandawa yang sebenarnya adalah saudara-saudaranya. Karna teguh menyelesaikan dharmanya dengan memilih jalan peperangan walau pada cerita sebelumnya, menurut Nanang Hape sang penulis naskah, Puntadewa sebenarnya telah menawarkan tahta Amarta pada Karna apabila Karna mau bergabung dengan para Pandawa.

Dalam pentas kali ini, Irwan Riyadi sang sutradara rupanya ingin mengingatkan bagaimana keadaan anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Keadaan itu jika tidak disiasati akan menghasilkan luka yang berpengaruh pada faktor lain yang lebih luas sifatnya. Sementara Nanang Hape membawa pesan jika kemuliaan Karna yang tidak berpihak pada tawaran material dan tetap setia melaksanakan dharmanya adalah suatu hal yang tidak terjadi pada dunia politik hari ini. Nanang rupanya ingin menyoroti perkara koalisi partai yang hangat dibicarakan belakangan waktu ini; yang hanya sibuk mengusung kepentingan masing-masing dan segalanya bermuara pada tampuk kekuasaan.

Pertemuan dua hati kemudian lebur dalam sebuah pertarungan antar saudara. Di atas panggung Kunti undur untuk tafakur. Dari balik tirai-kelambu ia menerima takdir di hadap muka, menyaksikan kedua anaknya menunaikan dharma. Pertarungan Karna dan Arjuna ditampilkan dengan menawan. Pertarungan dengan segenap hormat dan cinta dihaturkan pada ibunda. Ronce melati dari kedua belah keris yang digunakan keduanya jatuh menebar aroma di segenap penjuru ruang hingga akhirnya Pasopati Arjuna menjemput takdir Karna. Laki-laki yang sepanjang hidup tak merasakan belai ibunda, akhirnya tergeletak dipangkuan Kunti untuk pertama sekaligus kali terakhir dalam hayatnya. Sementara sosok Kunti yang dibawakan oleh Dewi Sulastri hadir menginspirasi. Dengan serta merta ia menarik saya pada momentum Kartini dan hari Bumi yang jatuh pada 21 dan 22 April ini. Saya tidak bicara mengenai ’emansipasi’ a la Kartini, tetapi mencoba menjenguknya sebagai Garba Hidup: relung yang dapat menanggung segala bentuk kehidupan yang datang padanya, setragis apapun ia - persis seperti Ibu (Bhumi) yang mengandung, membesarkan serta merawat anak-anaknya dan dengan ketabahan-keikhlasan luar biasa, rela berkorban untuk mereka.

Usai pertunjukan beberapa teman mengeluhkan hilangnya ‘sense’ ketika tuturan yang biasanya dibawakan dengan Jawa harus diwakili dengan bahasa Indonesia. Dialog dalam pentas ini memang dibawakan dengan bahasa Indonesia meski tidak seluruhnya karena pada beberapa kesempatan tembang-tembang Jawa tetap terdengar dilantunkan. Saya pribadi, yang tidak dibesarkan dengan kultur Jawa, sebenarnya merasa senang dengan kemudahan ini, lebih-lebih di samping panggung juga disediakan screen yang berisi sinopsis per-adegan yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris (walau harus diakui, terkadang janggal juga menyaksikan layar berukuran lumayan besar lantaran ia berhasil mencuri sudut pandang mata).

Bahasa Indonesia yang sengaja digunakan untuk menggaet pangsa pasar usia muda ini sendiri memang menjadi cukup mengganggu ketika ia lepas dengan konteks lainnya. Apa yang saya maksud dengan konteks pada ruang ini adalah ketidakmenyatuannya dengan panggung sebagai sebuah keseluruhan. Intonasi, pilihan kata pada beberapa titik terdengar sangat kaku dan menghasilkan jarak yang nyata. Seperti ada yang lepas antara apa yang dituturkan, karakter tokoh maupun situasi panggung yang ada. Jika saja situasi ini berhasil dijembatani, saya membayangkan, bukan tak mungkin permasalahan ’sense’ yang dibicarakan teman tadi bisa segera teratasi. Tapi salah seorang panitia kemudian menjelaskan jika permasalahannya tidaklah sesederhana itu. Bukan hal yang mudah misalkan menyiapkan seorang yang biasanya hanya menari kini sekaligus harus melakukan dialog. Olah vokal menjadi senjata wajib yang harus dipersiapkan secara matang dan hal itu membutuhkan waktu yang tidak pendek. Persiapan pentas ini sendiri terkendala waktu. Irwan mengakui jika masing-masing unsur terutama tafsir terhadap pola adegan belum sempat tergarap dengan matang. Masalah ini masih harus ditambah dengan kenyataan mendatangkan para pemain yang sebagian besar berasal dari Solo. Irwan harus mencari pola gerak dan menyusun kebutuhan iringan di Solo.

Pentas kali ini juga bertepatan dengan 10 tahun Gedung Pewayangan Kautaman dan pertunjukan yang mengkolaborasikan unsur drama, tari, wayang dan teater sengaja disuguhkan kepada mereka yang berusia di bawah 30 tahun. Walau saya tidak melihat daftar hadir, tampaknya sosialisasi bagi generasi 90-an ini tidak berjalan sesuai yang direncakan. Saya yakin, tidak sampai setengah dari total pengunjung yang memang berusia di bawah 23 tahun, atau bahkan jumlahnya bisa jauh lebih rendah dari pada itu. Sisanya, seorang teman wartawan mengatakan jika ikatan antar tiap elemen pada pertunjukan ini belum tergarap cukup apik. Ia berkomentar kecil, ”kalau mau kontemporer sekalian aja, jangan tanggung! Ini tadi terasa ada yang tertahan, nggak lepas! Sayangkan...”

Saya sendiri, seperti sudah saya ungkapkan di atas, mulai terbiasa dengan ’keadaan’ yang ada. Saya memilih jalan memaklumi kerna sejak beberapa tahun lalu—hingga hari ini—masih tetap menyaksikan permasalahan dan komentar yang sama di ruang-ruang pertunjukan macam ini. Ya, ini akan selalu menjadi catatan tersendiri bagi pertunjukan-pertunjukan tradisi yang dibalut dengan pendekatan metro atau urban lifestyle...tetapi kita tentu tak akan menghasilkan apa-apa juga bila tak ada upaya untuk terus melakukan uji coba. Jadi...terus berkreasi adalah satu-satunya jalan. Saya yakin akan selalu ada kesempatan selama sabar masih sanggup menandai dan menamai sebuah proses sebab bukankah tidak ada yang pernah benar-benar terlambat?!

CATATAN SENJAKALA KURUSETRA YANG TERTINGGAL



SANDYAKALA KURUSETRA
Sebuah Sanggit Soal Karma dan Dharma


Cin Hapsarin
catatan seorang penunjung




Malam itu tak ada hujan membasahi Jakarta, bahkan rintikpun enggan datang. Lalu pertanda apakah ini? Pertanda sang pawang hujan sukses membantu gelar Sandyakala Kurusetra yang dilangsungkan di Warung Apresiasi (Wapres), 12 Februari 2009 lalu.

Tidak semua mengetahui apa sebenarnya arti Sandyakala Kurusetra alias Senjakala Kurusetra itu, terlebih bagi mereka yang tidak dekat dengan kesenian Jawa yang banyak diselubungi aura magi mitologi Hindus itu. Kuru adalah padang pertempuran terakhir yang melibatkan hampir seluruh awak Kurawa dari Hastina maupun klub para ksatria pandawa dari Tanah Amarta. Semua paham jika akhirnya pihak Pandawa yang dimotori oleh kelima satrianyalah yang memenangkan pertempuran. Sayangnya, kisah ini tidak akan pernah ada artinya jika penyederhanaan itu dilakukan, dalam arti sekedar dijenguk dari endingnya. Kisah sensasional ini—untuk tak menyebutnya sebagai tragedi tragis nan romantis—justru menjadi ‘penuh’ apabila ia dapat dipahami secara holistik bahkan melalui celah-celah parsial yang kontekstual.

Malam itu gelar hari ke-12 Baratayudha tampil menjadi adegan pembuka. Keramaian sekaligus keremangan mencekam yang muncul dari setiap ritus perang di dunia dihadirkan ke atas layar lewat kelebat gunungan dan berbagai sosok wayang. Situasi ini juga terbangun dengan apik berkat sentuhan musik Tendri Yusuf, dkk yang berhasil mengkolaborasikan gamelan dan instrumen musik lain macam biola dan keyboard. Penonton pun mulai hanyut mengikuti irama yang disuguhkan dalang.

Alkisah, setelah gugurnya Abimayu dan Gatutkaca, Werkudara segera naik ke medan tempur dengan Gada Rujak pala. Ia berdiri di sana dengan rupa tiada galau, tegak lagi perkasa tiada dua. Di depannya, Dursasana, adiknda Raja Hastinapura Duryudana, berdiri dengan wajah setengah berpaling. Keteguhannya tengah dijajal oleh ingatannya sendiri. Berangsur, terlontarlah Dursasana ke gurat kaki yang pernah diukirnya.

Sebagai flash back, peristiwa pembunuhan Sarka-Tarka, jelata tukang satang perahu yang melindungi keberadaan para Pandawa; penghinaan terhadap Sri Krsna titisan Bathara dalam lakon Krsna Duta muncul dan diakhiri dengan peristiwa Pandawa Dadu yang tampil ke muka dalam bentuk aksi teatrikal. Pada peristiwa pertama sukma Tarko menyumpahi Dursasana jika kelak ia akan tewas persis seperti yang dialaminya. Namun Dursasana tidak sedikitpun gentar karena yakin akan terbebas dari karma jika ia bertobat.

Pada peristiwa dadu yang terkenal itu digambarkan bagaimana kekalahanYudistira hingga akhirnya ia harus merelakan istri lima Pandawa, Drupadi, jatuh ke tangan Kurawa. Dursasana yang larut dalam kemenangan, tak menunggu lama untuk segera mengejar Drupadi. Bukan sekedar dipermalukan tetapi direguk pulalah harga seorang Drupadi sebagai perempuan malam itu; sebuah peristiwa yang menyulut sumpah Drupadi untuk tidak akan gegelung sebelum ia berkeramas dengan darah Dursasana kelak. Santi Dwi Saputri, pemeran Drupadi enom yang terlihat cukup berjarak dengan tokoh yang ia bawakan—walau tetap berusaha tampil dengan gemulai—hadir menarikan babak tersebut. Adegan perang antara Werkudara dan Dursasana pun segera kembali naik ke atas layar, hingga akhirnya ditutup oleh kehadiran Drupadi yang bermandi darah Dursasana yang dibawakan sangat apik oleh Elly D Luthan.

Sandyakala Kurusetra merupakan pertunjukan wayang kulit pakeliran padat gaya Surakarta berdurasi kurang lebih dua jam yang dibawakan oleh ‘Dalang Pejabat’ Depkominfo lulusan STSI Solo, Bambang Asmoro (42). Sudah pasti jika pentas kali ini bukanlah pentas wayang klasik dengan bahasa Jawa mlipis alus ataupun pentas wayang klasik beralur linear. Ini adalah pentas wayang padat yang dibuat dengan konsep edutainment alias ringan-berisi, yang rasanya memang sengaja diciptakan sebagai tawaran yang chick bagi dunia kota yang cepat tetapi haus akan pertunjukan bernuansa reflektif ber-ikon Jawa.

Mengenai tema, kebetulan beberapa saat sebelum sang dalang pentas, ia sempat mengirimkan email kepada saya. Katanya begini, “tema itu...tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan.....Karma dan darma selalu berjalan berdampingan...dan saling menjaga satu sama lain untuk tetap berjalan sesuai porsinya. Konsep yin dan yang...hitam dan putih...akan selalu berdampingan....dan tunduk pada kuasa Hyang Tungal. Kita mau mengangkat keyakinan Dursasana dalam memandang Karma dan Darma......Dursasana keliru menafsirkan Karma. Ia beranggapan bahwa..segala sesuatu dosa yang ia perbuat akan mendapatkan pengampunan dikala menjelang ajal ia bertobat. Ternyata salah bahkan menjelang ajal saat terkena kuku pancanaka Werkudara, ia tidak bisa mengucapkan kalimat suci, mulutnya terkunci rapat, bahkan yang keluar umpatan...sumpah serapah....dan harapan terang untuk mendapatkan swarga langgeng ternyata...hanya..gelap...dan gelap.....Karma tetap berjalan sebagaimana mestinya....tanpa bisa di siasati oleh siapapun....(koruptor dosanya tidak akan terampuni hanya karena ia bertobat).....”

Penjelasan itu menarik minat saya. Sederhana saja, apakah kata-kata kotor yang keluar dari mulut Dursasana tidak dapat dikatakan sebagai pertobatannya? Mungkin secara sekilas semua akan sependapat dan menyatakan pertanyaan saya sebagai bodoh. Tapi saya, yang sama awamnya dengan banyak orang ketika bicara wayang, melihat kemungkinan lain. Pertama, tidakkah hanya Sang Hyang saja yang dapat mengukur batas pertobatan itu dan rasanya hal ini tidak perlu kita komentari lebih. Pertobatan identik dengan perubahan positif, baik itu ditataran ucapan, pikiran maupun tindakan dan di ruang itu hanya waktulah yang dapat menjadi saksi. Sayangnya, dalam kasus ini Dursasana ada pada detik-detik terakhir yang menyiratkan ketakberpihakan ruang dan waktu padanya. Kitab hanya mencatat ucap maki bagi kisah akhir hayatnya. Namun demikian bukankan terkadang pada satu waktu manusia mencapai akumulasi klimaks dari satuan hidup yang telah membentuknya dan hanya ‘pisuhan kecil’ yang terdengar dari rongga mulutnya? Sebuah pisuhan yang akan segera diikuti oleh senyum pias atau tawa datar karena ia telah tiba pada satu padang luas dimana (ilmu) pengetahuan yang dimilikinya selama ini hanyalah salah satu sisi dari sebuah keping, sementara satu sisi lainnya barulah ia pahami ketika semua telah berjalan? (lalu pertanyaan berikut yang bisa diajukan adalah: apakah ada kesadaran yang datang tidak dengan terlambat?)

Yang pasti, entah mengapa, malam itu saya mau menempatkan Dursana pada ruang itu. Berbeda dengan Werkudara yang berkesempatan mencapai puncak pertemuan diri dengan diri pada lakon Air Perwitasari Dewa Ruci dengan cara elegan, Dursasana menemuinya untuk kali pertama justru dalam kali terakhirnya menatap dunia. Sementara karmanya sendiri terbayar sudah ketika ia harus tewas dengan cara yang mengenaskan. Karma dan pertobatan adalah dua hal yang berbeda meski mereka bersaudara. Sebagai catatan saja, saya pikir komentar ini bukan sebuah usaha untuk ‘mempositifkan yang negatif’ atau semacam mencari happy end yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi sesama. Perlu diingat pula jika ini bukan sebuah upaya untuk membenarkan makian sebagai jalan pertobatan. Saya pribadi hanya memiliki kepentingan untuk melihat bagaimanakah sebuah jalan pertobatan bisa dicapai, dengan demikian konsepsi karma dan dharma yang menjadi koridor yang memayungi bisa dibedah secara lebih ‘manusiawi’, dalam arti tidak mengekor dalam ruang hitam-putih yang keras.

Hal lain, keluar dari konteks pertunjukan ini walau tetap terkait adalah mengenai keberadaan tokoh Drupadi. Sudah sejak dulu saya tertanya mengenai perempuan para-pandawa ini. Sekilas tentu kita pernah mendengar jika kedudukan para-pandawa selalu dianalogikan sebagai panca indera dalam konsepsi wadag manusia kita. Lalu jika demikian, bagaimana harus kita maknai dendam dan sumpah Drupadi ketika berhadap-hadapan dengan Dursasana tadi? Ibu, sebagai seorang Ibu yang menjadi rahim hidup pantaskah ia? Atau justru karena sebagai Ibu yang terampas martabatnya Drupadi justru memiliki hak dan kewajiban (yang lebih dari) untuk melaksanakan sumpahnya demi mengembalikan ‘fitrah keperempuanannya? Sesungguhnya, saya bahkan sangat takut pun untuk sekedar membayangkan jikalau dendam itu benar menahun melekat pada kepalnya. Saya tidak berhasil menentramkan diri dan melihat alasan yang cukup masuk akal yang dapat membenarkan tindakan tersebut.

Seorang teman saya, yang juga dalang, segera menegur saya untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan, lebih-lebih jika hal itu dibuat berdasar sudut pandang (‘perempuan’) hari ini. Demikian pula ketika seorang kawan lain menjelaskan bahwa sebenarnya lakon Drupadi, pada naskah klasiknya, tidak menempatkan ia pada kedudukan major. Entah pada kurun kapan, lakon tersebut naik kelas dan semua ini akan berkelindan dengan permasalahan sanggit. Sementara jika harus menilik permasalahan sanggit, perkara akan segera bergerak bebas (tanpa sabuk pengaman) karena hingga hari ini belum ada etik khusus untuk mengatur hal tersebut dan saya yakin seyakin-yakinnya, jika wacana ini ditelurkan pasti akan segera memancing pro-kontra. Pihak-pihak yang mengagungkan kebebasan berkreasi—sebagai pendulum dasar proses mencipta—akan segera berhadapan dengan kelompok yang ‘membutuhkan aturan main yang lebih jelas’ sebagai tameng dari keliaran, alih-alih kebebasan mencipta.

Perkara sanggit ini tentulah sangat menarik untuk diperbincangkan. Bahkan kawan tersebut melanjutkan ujarannya, terutama mengenai ketidaknyamanannya dengan lakon reflektif yang dikenakan Dursasana dalam pertunjukan ini. Baginya, tokoh Dursasana tidak dalam kapasitasnya untuk berada dalam ‘kondisi’ tersebut. Kalau saya tidak salah, ia menyebutnya agak menyimpang. Menurutnya, setiap tokoh wayang memiliki kekhasan fungsi masing-masing. Ketetapan ini meski tidak dalam kapastitas untuk tidak diganggu-gugat tetapi sepatutnya tetap dilekatkan pada pakemnya. Itu artinya, jangan memaksakan satu karakter yang tidak menjadi karkater bawaan tokoh yang dimainkan.

Kembali pada masalah Drupadi, baiklah, saya pikir mereka semua benar, sangat benar malah...masalahnya kemudian, sejauh ini saya tidak—atau belum menemukan—penjelasan berlatarbelakang konteks kala itu. Jika demikian kita akan segera memasuki aspek sosiologis dan itu akan sangat menarik, paling tidak bagi saya. Dengan penjelasan itu akan terpapar bagaimana hidup perempuan dan pertautannya dengan lingkungan. Saya tidak tahu apakah hal ini cukup memungkinkan tapi kajian tersebut tentu akan memperkaya gagasan maupun sudut pandang kita dalam memahami masalah.

Proses pembuatan naskah dan penggarapan pertunjukan ini sendiri menghabiskan waktu sekitar 1,5 bulan saja; sebuah waktu yang tak bisa disebut panjang dan melibatkan kawan-kawan di Komunitas Suluk Linglung seperti Nanang Hape, Prapto Panuju, Tendri, Jangrono Sutrisno, dan Dirman. Lalu ada nama-nama yang tak asing seperti Kiki Dunung, Yanusa Nugraha, Irwan Riyadi, dll. Seperti halnya pentas lain, kendala terutama yang mereka hadapi—selain perkara klasik yang tak perlu disebut yakni ketiadaan sponsor—adalah menanak naskah agar dapat mudah dimamah-renyah. Bongkar pasang adalah situasi tak terelakkan dan terkadang jadi sangat menyulitkan mengingat tiap personel memiliki kesibukan masing-masing. Syukurlah, semangat untuk ‘nguri-nguri tradisi dengan logat kota’ berhasil menyatukan mereka.

Nah, malam itu suasana remang dengan cahaya yang cenderung under di sana-sini tampak membungkus Wapres...walau demikian pengunjung tetap terlihat padat bahkan hingga akhir pertunjukkan. Beberapa kawan yang sebenarnya dibekali kemampuan sangat minim untuk mengikuti dialog dalam Bahasa Jawa pun tetap tekun menyimak jalannya pertunjukan hingga akhir. Begitupun beberapa teman lain yang, kalau boleh dikata, tidak memiliki kedekatan dengan ikon Jawa ini, tetap duduk santai menikmati pertunjukan sambil sesekali berkomentar out of the box alias berkelakar saja menyaksikan beberapa adegan yang sebenarnya, entah mengundang tawa, entah tidak.

“Ya, bolehlah buat Jakarta yang kayak ini,” ujar Agung, seorang anak muda dengan logat Betawi kental tapi sempat 10 tahun tinggal di Jogja. “Tapi kalo udah pernah nonton wayang di Jogja sih pasti berasa ada yang kurang kalo lihat yang begini...tapi yaaa bagus juga sih misalkan bisa sering-sering dibikin...biar Orang-orang Jakarta berkurang gilanya, tug!”, sambungnya bersemangat diikuti tawa yang lumayan menggema. Beberapa orang disekitar Agung tampak melirik memberi tanda kalau suaranya sudah terlalu keras meski mulut mereka tak terbuka barang satu atau dua centipun.

Ya, di Jakarta ini segala sesuatunya memang berkelebat cepat termasuk kelebat dari satu kegilaan ke kegilaan lain. Ah, lalalala...perbincangan belum usai tapi malam mulai menghampiri. Sepenggal resah pun menggelayut menemani langkah kaki untuk segera beringsut menuju Gudeg Panglima Polim... Selamat malam Jakarta, Selamat malam Jawa... Rupanya mereka masih saja asik dalam buai lelap mimpi masing-masing...entah sampai kapan...

Selasa, 14 April 2009

PRESS RELEASE



WAYANG UNTUK KAUM MUDA

Soedarko Prawiroyudo dan kawan-kawan menawarkan kepada anda, sebuah pergelaran Drama Wayang khusus bagi anda yang belum berumur kurang dari 23 tahun.

“Ini adalah Drama Wayang untuk anak berumur kurang dari 23 tahun.” Tegasnya.

Drama Wayang adalah sebuah pertunjukan teatrikal yang memadukan beberapa unsur, drama, tari, wayang dan teater. Mengenai tata lampu, seting panggung, koreografi tari, penaskahan, garap iringan dan penambahan siluet gerak wayang kulit, semuanya digarap lebih rasionil dan semuanya semata-mata untuk generasi muda.

“Semua unsur pertunjukan yang ada hanyalah perabot, dan semuanya itu digarap lebih rasionil dan tentunya ini diperuntukan bagi generasi muda.”katanya. “Oleh karena itu Drama Wayang ini memakai bahasa Indonesia.”tandasnya”.

Oleh karena itu pada pementasan kali ini diundang puluhan generasi muda sekedar untuk membuktikan bahwa, pergelaran ini memang untuk mereka. Kalau memang harus ada yang diperbaiki Sudarko dan kawan-kawan akan siap memperbaikinya.

Sementara itu Irwan Riyadi sutradara pagelaran ini mengatakan, lakon yang akan dipentaskan pada tanggal 19 April 2008 jam 15.30 WIB di Gedung Pewayangan Kautaman TMII berjudul ”PERTEMUAN DUA HATI” yang diambil dari Epos Mahabarata. Lakon ini akan mengetengahkan nilai pertautan erat antara ibu dan anak antara Karna dan Kunti. Karna selalu haus akan kasih sayang Ibu yang memang terpisah sejak lahir. Karna sangat menghendaki untuk bisa berada dipelukan dan pangkauan ibu dan itu tidak kesampaian hingga ajal menemput. Tragisnya berada di pangkuan Ibu setelah terkena panah Pasopati Arjuna saudara seibu adik kesayangannya.

”Anak-anak prustasi seperti Karna yang gagal memperoleh kasih sayang ibu semasa kanak-kanak hingga dewasa, menorehkan luka yang dalam dihatinya. Meski demikian Karna tidak pernah mencela Ibunya di berbagai kesempatan dan perhelatan agung. Karna bercita-cita ingin kumpul dengan para Pandhawa dan Ibu tercintanya, tetapi hal itu tak akan kesampaian bila ia masih berada di dunia, karena ia harus berada di pihak Korawa. Pertemuan langgeng hanya bisa ditempuh di alam kelanggengan, dengan jalan kematian di medan kurusetra. Karna berharap setelah kematiannya kelak akan dapat berkumpul dengan Kunti dan para Pandawa lainnya.”jelasnya”.

Masih menurut Irwan, beberapa kendala yang dihadapi dalam setiap pementasan adalah waktu yang terlalu pendek untuk mempelajari dan menghafal naskah, juga tafsir terhadap pola adeganya sendiri. Sementara sejumlah penari dan pemusik yang didatangkan dari Solo juga merupakan kendala tersendiri. Irwan harus mencari pola gerak dan menyusun kebutuhan iringan di solo. Iringannya sendiri dipercayakan kepada Komponis Musik Gamelan Terkenal Dedek Wahyudi. Selain itu kemampuan SDM utuk melavalkan dialog dengan logat Indonesia juga menjadi kendala tersendiri.

Nanang Hape penulis Naskah ”PERTEMUAN DUA HATI” mengatakan bahwa ceritera ini ingin mengungkapkan nilai-nilai lama yang bersifat universal dan berlaku sepanjang jaman, namun di era sekarang nilai itu sudah luntur. Ia mencontohkan pengorbanan seorang Karna ketika berkecamuk hatinya karena disuatu sisi ia mencintai para Pandhawa dan Ibunya Kunti, tetapi Karna menjalankan darmanya untuk tetap berpihak kepada Korawa. Hal itu ditandai dengan ia rela berperang dan mati ditangan adiknya sendiri.

Menurut Nanang, pada ceitera sebelumnya sebenarnya Puntadewa telah merelakan tahta Amarta kepada Karna, dengan syarat jika Karna mau bergabung dengan Pandhawa, tetapi Karna menolak. Ia memilih jalanya sendiri, untuk tetap menjalankan darmanya, bukan mementingkan kebahagiaan sesaat (materi). Hal demikian tidak ada dijaman sekarang. Ia mencontohkan koalisi partai akan berjalan mulus seiring kepentingannya saling menguntungkan dan akan bubar dengan sendirinya jika koalisi itu sudah selesai. Tetapi nilai lama dalam kisah Karna tersebut tidak demikian. Ia memilih jalan peperangan, tetapi dalam hatinya ia tetap cinta kepada para pandawa dan bakti kepada Kunti.

Drama Wayang yang digarap sedemikian rupa ini diharapkan menjadi pantas dan bisa dinikmati oleh generasi muda masa kini. Dengan penanaman nilai-nilai kearifan lokal para generasi muda diharapkan juga akan menjadi benteng yang kuat terhadap terpaan budaya global yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia.
Sekedar untuk diketahui

Selain itu Drama Wayang juga didukung oleh seniman-seniwati profesional, penari, pengrawit, dan Dalang seperti; Suryandoro (koordinator pergelaran), Prapto Panuju (Pengarah) Dewi Sulastri, Ali Marsudi, Agus Prasetyo, Irawan RM (Penari), Sambowo Agus Heriyanto (pengrawit), Bambang Asmoro, Kiki Dunung (Dalang/Peraga Wayang) serta para alumni STSI Surakarta, ISI Surakarta dan ISI Yogyakarta (B3).

Selasa, 31 Maret 2009

Abimanyu




Bagian dari Adegan Senjakala Kurusetra. Abimanyu menerjang maju ke medan laga dengan gagahnya, meski akhirnya rela mati dengan ratusan anak panah menancap ditubuhnya.

Jumat, 06 Maret 2009

Karma Dursasana


Karma Dursasana
KOMPAS: Minggu, 15 Februari 2009 | 01:30 WIB

Dalang lulusan STSI Surakarta, Ki Bambang Asmoro (42), menggelar pentas wayang kulit pakeliran padat dengan lakon ”Sandyakala Kurusetra”. Kisah dari perang Bharatayuda itu coba diolah dalam pendekatan semi teatrikal dengan melibatkan instrumen musik modern dan koreografer Elly D Luthan. Berhasilkah kolaborasi itu menyuguhkan pentas segar?

”Sandyakala Kurusetra” dimainkan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan, Kamis (12/2) malam. Dalang mengambil tempat di belakang layar putih, menghadap penonton, sehingga penonton menyaksikan permainan wayang lewat bayangan saja. Musik ditangani Tendri Yusuf serta sejumlah pemusik tradisional.
Pertunjukan dibuka dengan bayangan gunungan berkelebat-kelebat dan sosok-sosok berkilas-kilas di layar. Musik menggedor-gedor. Suasana mencekam itu, demikian dalang berkisah, menggambarkan kecamuk perang Bharatayuda.

Setelah Abimanyu dan Gatutkaca dari Pandawa tewas dalam pertarungan sengit, Werkudara mengamuk. Menyaksikan itu, tiba-tiba Dursasana dari Kurawa ngeri. Adik Raja Duryudana dari Hastinapura itu menerawang kilas balik sebelum perang, saat dia mengakali Pandawa dalam permainan dadu.

Adegan berikutnya dimainkan secara teatrikal oleh beberapa aktor langsung di panggung, sementara permainan wayang pada layar berhenti. Raja Amarta, Puntadewa, kalah main dadu sehingga terpaksa menyerahkan istrinya, Drupadi, sebagai taruhan. Perempuan cantik itu ditelanjangi oleh Dursasana.

Dipermalukan begitu, Drupadi (diperankan Santi Dwi Saputri) marah dan bersumpah. ”Saya tak akan mengeramas rambut, kecuali pakai darah Dursasana!”
Kembali ke layar, wayang kulit menggambarkan, Dursasana kemudian bertarung dengan Werkudara. Lewat pergulatan seru, tokoh brangasan itu pun menemukan karmanya: tewas mengenaskan.

Saat wayang kulit terpaku pada adegan kematian Dursasana, penari Elly D Luthan muncul, memerankan Drupadi yang hendak keramas darah. Dia berputar-putar pelan di antara pemain gamelan, lalu beringsut ke depan layar, menyelaraskan gerak dengan sabetan bayang-bayang wayang. Geliat tubuh dan mimik wajahnya mengekspresikan dendam kesumat teramat perih

Dia ambil selendang merah dari gedebok dalang, dan pelan-pelan dililitkan ke tubuh, kemudian menggelung rambutnya. Prosesi tari ini menjadi simbol Drupadi telah memenuhi sumpah berkeramas dengan darah Dursasana.

Tanggung

Berhasilkah pentas itu menyegarkan pentas wayang? Dalam beberapa hal, kolaborasi itu masih serba tanggung.
Dari sisi cerita, memang ada usaha dari dalang Ki Bambang Asmoro untuk berkisah melalui sudut pandang Dursasana dari Kurawa. Alur cerita pun tak ditata linier, melainkan secara kilas balik. Durasi pentas wayang yang biasanya mencapai 7-9 jam dipadatkan menjadi sekitar dua jam.

”Saya ingin pentas ini lebih menghibur dan memberikan perspektif beda dengan umumnya lakon yang dikisahkan dari pandangan Pandawa saja,” kata Bambang, yang bekerja sebagai pegawai Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) itu.
Namun, bagi penulis beberapa novel wayang dan penggiat Wapres Bulungan, Yanusa Nugraha, penyegaran dari sisi cerita itu belum tergarap maksimal. ”Cerita pentas tak terlalu banyak berubah dari kisah Bharatayuda asli dalam pewayangan Jawa atau India. Perspektif Dursasana belum terbangun kuat sampai menjadi tafsir sendiri atas lakon umum,” katanya.

Penampilan sejumlah aktor dalam adegan main dadu di panggung juga masih agak kikuk sehingga malah mengendurkan intensitas pertunjukan. Gesekan biola dan petikan keyboard yang dimotori Tendri Yusuf cukup mengentalkan suasana beberapa adegan. Sayang, improvisasi ini belum diikuti para penabuh gamelan tradisional lain.
Pertunjukan ”Sandyakala Kurusetra” cukup menarik dilihat dari kemasan penampilan visualnya, tetapi tentu bakal lebih menggebrak lagi jika mau memanfaatkan kekuatan multimedia. Pentas ini tertolong oleh pengalaman Elly D Luthan yang cukup mendalami kisah Drupadi. Keintiman koreografer pada lakon Drupadi pas menyiratkan sosok perempuan yang lama memendam sakit hati.

Meski dengan gerak minimalis, tarian Elly bisa turut hanyut dalam atmosfer suara dalang, sabetan wayang kelir, dan lantunan lagu pilu yang mengiringinya. ”Gerak tari mengalir sebagaimana mengalirnya tarian Jawa klasik. Saya tak terpaku pada bentuk, melainkan lebih mengekspresikan rasa,” katanya. (ilham khoiri)

Tatkala Dursasana Gugur di Tangan Bima



SINAR HARAPAN: 12 Fbruari 2009

Jakarta - Penari itu menarik kain merah yang terselip di bawah kelir wayang kulit. Elly D Luthan melangkah pelan, menjauhi kelir (layar). Dalang memperlihatkan sosok Dursasana yang mati di tangan Werkudara (Bima). Adegan ini mengakhiri mimpi Drupadi yang ingin mencuci rambut dari darah Dursasana. Bagi Dursasana, inilah karma dirinya, dikiranya dia mampu berbuat kebajikan menjelang kematian, tapi ternyata “pisuhan” (umpatan kasar) yang keluar dari mulutnya, “Bima asu, anjing, bajingan...”
Kamis (12/2), di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan, kolaborasi antara wayang kulit dengan dalang Ki Bambang Asmoro dan koreografer sekaligus penari Elly Luthan – berperan sebagai Drupadi tua, dipergelarkan.

Pertunjukan ini juga didukung Santi Dwi Saputri yang berperan sebagai Drupadi muda, juga seniman lainnya seperti “dalang muda” Nanang Hape, Tendri, Kiki Dunung, Janggrono Sutrisna, Prapto Panuju, Dirman, Irwan Riyadi hingga Yanusa Nugroho.
Pertunjukan berlakon Sandyakala Kurusetra ini memang tak disajikan sebagaimana pertunjukan wayang kulit biasanya, karena yang diambil adalah berbagai peristiwa menggambarkan karakter seorang Dursasana. Durasi yang singkat - berbeda dengan pergelaran wayang semalam suntuk seperti biasanya – tak mengurangi klimaks adegan akhir lakon ini. Pertunjukan singkat sekitar dua jam lebih memakai model “wayang kulit pakeliran padat”.

Bila untuk pertunjukannya, dalam dua kali latihan, mereka sudah mendapatkan bentuk. Namun, untuk penggarapan naskah, menurut dalang yang juga karyawan Departemen Komumikasi dan Informatika ini, mereka garap dalam waktu sebulan. Perkara kain merah yang “keleleran” di bawah kelir, justru mampu memadukan dunia tari dan wayang. Terutama kekuatan Elly Luthan berhasil mengisi adegan akhir dendam dan kedukaan di wajah dan gerak tubuhnya. Padahal, awalnya, penampilan penari di depan wayang, kelir dan gamelan nyaris terkesan menjadi aksesori pertunjukan belaka.

Ada di Keseharian

“Tokoh Dursasana ada dalam keseharian hidup ini,” papar Ki Bambang, sambil tersenyum. Karena itu, darma yang menjadi buah kebajikan pada Dursasana tak terbukti di saat dia mati. Karmalah yang menyertai akhir hayatnya.
Pertunjukan ini bertujuan ingin mengangkat persepsi Dursasana yang keliru dalam memandang karma dan kematian. Suatu pesan moral yang disampaikan dengan cara menyenangkan, menghibur dan mengena bagi generasi muda.

Ungkapan bahasa Jawa “nabrak” dari kromo inggil, kromo madyo, ngoko, sampai bahasa Indonesia dilontarkan oleh Ki Bambang Asmoro. Kendati, bahasa kromo antarsatria Pandawa masih menghias dialog secara dominan, percakapan ngoko antarpunawakan tetap dimunculkan, bahasa Indonesia sesekali mencuat dalam dinamika dialog bahasa Jawa.
Untuk masalah ini, Ki Dalang mengaku ingin menyajikan dalam bahasa Indonesia, namun kemudian tetap mengembalikannya dalam bahasa Jawa. “Tetap dalam bahasa Jawa, eman-eman (sayang), roh sastra Jawa-nya bisa lepas,” papar Ki Bambang. (sihar ramses simatupang)




Copyright © Sinar Harapan 2008

Kamis, 05 Maret 2009

" Hanya Menjadi Dursasana "



KORAN JAKARTA: Minggu, 15 Februari 2009 01:02 WIB
Posting by : Administrator

Lakon pertunjukan wayang yang kerap diadakan semalam suntuk, diringkas menjadi dua jam. Namun, tak ada dekonstruksi cerita. Masih hitam putih. Rivalitas abadi kejahatan dan kebaikan.

Dursasana akhirnya menerima karma atas perbuatannya menelanjangi Drupadi

Lakon pertunjukan wayang yang kerap diadakan semalam suntuk, diringkas menjadi dua jam. Namun, tak ada dekonstruksi cerita. Masih hitam putih. Rivalitas abadi kejahatan dan kebaikan.

Drupadi –diperankan oleh penari senior Elly D Luthan- menari dengan gerakan lambat, tangannya mengayun lembut sementara kakinya mengimbangi dengan langkah pendek-pendek. Indah. Drupadi menari dengan membebaskan tubuhnya untuk bergerak sendiri. Sesekali tubuhnya mengejang merasakan harmoni kelembutan yang dibangun. Seolah gelisah.

Gamelan yang mengalir satu-satu dan lolongan pengrawit memberi latar suara yang kian mengiris. Drupadi menarikan kesedihan, juga marah, dan penantian panjangnya. Rambutnya yang terurai panjang tak beraturan semakin menguatkan gambar luka hatinya. Sudah belasan tahun Drupadi tak mengikat rambutnya. Sekarang waktunya.

Di pakeliran pertarungan barbar satu lawan satu sedang berlangsung. Dursasana dan Bima tohpati. Gada beradu gada, tendang beradu tendang. Penuh harus tepuaskan dendam. Ya, perang karma dan darma. Darma Bima untuk memenuhi sumpahnya membunuh Dursasana. Dan karma Dursasana atas semua perbuatannya di masa silam. Dalam perang agung Bratayudha Jayabinangun darma atau karma sebesar zasat renik pun harus terbayar lunas. Seperti ibu muda yang menunggui anak pertamanya, Drupadi gelisah menunggu akhir cerita. Tapi, ia tetap menari.

Dalam sebuah kesempatan, Dursasana lengah pancanaka –kuku Bima- merobek perutnya. Belasan tahun yang dinanti Drupadi datang juga. Dursasana pralaya dengan tubuh tercabik-cabik mengerikan. Perlahan Drupadi mendekat, simbah darah Dursasana diraupnya lalu dibalurkan pada seluruh rambutnya. Lampu latar menyala merah. Darah. Sumpah terlaksana dan Drupadi menggelung kembali rambutnya.

Tarian Drupadi di panggung dan pertarungan barbar Bima dengan Dursasana di pakeliran tadi adalah adegan puncak Sandyakala Kurusetra, yang menggambarkan suasana palagan Kurusetra dalam perang Bratayuda Jayabinangun. Dalangnya ki Bambang Asmoro, karyawan Depkominfo lulusan dari STSI Surakarta tahun 1993.

Sandykala Kurusetra yang manggung di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta (12/2) adalah pakeliran padat yang menggabungkan antara kelir wayang dan dalangnya, teater serta tari. Kelir padat sebetulnya bukan konsep baru, almarhum SD Gendon Umardani yang pertama kali menggagas konsep itu di tahun 90-am saat masih di Sasana Mulya keraton Solo. Satu lakon wayang yang biasanya makan waktu semalam suntuk saat dipentaskan, diringkas menjadi hanya beberapa jam. Tentu tanpa mengorbankan keindahan estetisnya. Lihat saja subplot-subplot yang berserak dalam Sandykala Kurusetra. Abimanyu Rajam, Gathotkaca Gugur, Kresna Duta sampai Pandawa Dadu yang dalam pertunjukan wayang tradisional merupakan sebuah cerita yang berdiri sendiri.

Bambang bisa dibilang sukses pada adegan puncak saat Drupadi keramas dengan darah Dursasana. Dua adegan yang tampil bersama –Drupadi yang menari di latar depan dan serta Bima yang sedang bertarung dengan Dursasana di kelir- sebenarnya penonton rawan terpecah perhatiannya. Tapi Bambang –dan juga Elly- secara cerdas memanfaatkan sudut pandang penonton dalam garis sejajar. Otomatis, ketika penonton menikmati gerak kesedihan Drupadi, maka pertarungan hidup mati Bima dan Dursasana di pakeliran melengkapi menjadi rohnya. Penonton hanyut pada dua adegan yang menyatu.

Fragmen puncak itu setidaknya menjadi penebus panggung yang kedodoran di tengah pertunjukan. Perjudian antara Pandawa dan Kurawa di pasewakan Astina yang mestinya menjadi titik masuk semua cerita tak tergarap maksimal. Juga, saat Drupadi ditelanjangi. Mestinya di titik ini penari –Drupadi muda diperankan oleh Santi Dwi Saputri - bisa “bermain-main” dengan eksplorasi estetik. Penderitaan Drupadi, marah, malu dan sakit hatinya mengalir datar saja. Padahal karakter Drupadi di titik ini sangat kuat. Kurang apa Drupadi sebagai istri yang setia hingga harus, dipertaruhkan, ditelanjangi, lalu diewer-ewer auratnya oleh Dursasana di depan banyak orang. “Kita memang kesulitan memvisualisasikan permainan dadu itu. Sekelas pak Narto –Nartosabdo- saja yang bisa,” ujar Bambang memberi alasan.

Darma dan Karma
Bambang bercerita, Sandykala Kurusetra berkisah tentang dharma dan karma. Sebuah cerita hitam putih tentang si baik yang mengalahkan si jahat. Tema yang sebenarnya bisa saja sangat bias karena tergantung dengan sudut pandang sang dalang. Pandawa menang karena baik. Kurawa kalah karena jahat. Tak ada ruang untuk interpretasi. Ini juga dilakukan oleh Bambang Asmoro, sang dalang. Dursasana taken granted sudah jahat, Duryudono dan Sengkuni juga. Puntadewa dan Pandawa selalu menjadi pahlawan. Padahal, orang baik mana yang tega mempertaruhkan saudara, negara, istri dan semua yang dimilikinya demi judi?

Dursasana akhirnya menerima karma atas perbuatannya menelanjangi Drupadi. Tapi siapa yang menghukum Yudistira karena mempertaruhkan istrinya. Dalam kacamata Yudistira –maaf kacamata para dalang- Drupadi istrinya tak lebih dari sekadar properti yang bisa dengan mudah dipindah tangankan, bahkan dengan taruhan judi sekalipun. Yudistira tak memerlukan “bertanya” pada Drupadi, apakah bersedia menjadi taruhan.

Tak bermain di ranah konsep memang diakui oleh Bambang sendiri. “Kita sebenarnya mau bongkar itu. Dursasana dibuat bagus, bahkan ketika dia mati, Bima menangisi Dursasana dan penonton kita buat berpikir mesak’e banget Dursasana matinya –dengan badang hancur lebur- demikian,” jelas Bambang.

Tapi, di sisi lain Bambang merasa kesulitan karena dari awal pagelaran Sandykala Kurusetra berangkat dari ide karma dan darma. Selain itu, dalam kondisi sekarang, masih menurut Bambang, ide itu juga memotret kekinian dimana orang-orang lebih memilih berperan menjadi Dursasana .

Sempitnya ruang untuk mendaur ulang karakter Dursasana bahkan tercermin dalam adegan puncak. Menyadari karmanya, Dursasana kemudian memulai pencarian swarga langgeng-nya dengan bertanya pada Semar. “Jalan mati seperti apa, dengan segala karma itu bisa mencapai swarga langgeng.” Tanya Dursasana. Pasrah dan ikhlas. Tapi Bambang juga tak memberi kesempatan pada Dursasana. Ketika dia menjelang ajal, bukannya menyebut sang penciptanya. Dursasana malah memberondonkan makian. “Bajingan, bajingan, bajingan mati aku.”

Tentang konsep hitam-putih memandang darma dan karma Bambang menyebut lain waktu dirinya akan mulai menggarap “Untuk Sandykala Kurusetra kita memang belum merambah kesana. Lain waktu kita akan bongkar itu. Mau kita jungkir balikan wayang ini juga berani kok,” terang dalang kelahiran Pacitan 17 Januari 1967 itu.

Secara umum penampilan Bambang dan kawan-kawan kali ini tebilang memikat. Wayang yang biasanya identik dengan generasi sepuh kali bisa dinikmati oleh anak muda. Mereka sesekali terlihat menghela nafas, atau ikut merinding menyaksikan Elly D Luthan menarikan Drupadi. Bila beberapa hal tak tergarap maksimal seperti panggung yang minim, tata lampu yang miskin, atau tampilan teaternya yang garing mungkin kita juga harus maklum pada Bambang. “Di renggo dewe mas –dibiayai sendiri-, alhamdulilah separo didukung yayasan Putra Pendawa. Ini kerja -gotong royong dengan sesama seniman, kalau bayar semua, mati aku,” ujar Bambang menjelaskan biaya Sandykala Kurusetra yang mencapai lebih 15 juta rupiah itu.Tegun Nugroho/Adiyanto
Tegun Nugroho/Adiyanto

Dursasana Menuai Karma



Halaman Muka,JURNAL NASIONAL: Jakarta | Minggu, 15 Feb 2009
Dursasana Menuai Karma
by : Fransisca Dewi Ria Utari

Penelanjangan Drupadi oleh Dursasana saat permainan dadu merupakan peristiwa paling berkesan di keseluruhan kisah Mahabharata. Bisa dibilang, peristiwa tersebut bermakna kompleks. Di satu sisi, saat itulah nilai ksatria Pandawa hilang di meja judi, sekaligus awal dimulainya perjalanan pahit pembuangan Pandawa. Namun bagi kalangan perempuan, ditempatkannya Drupadi sebagai taruhan, menoreh kepahitan dan menodai nilai seorang perempuan.

Tak heran begitu banyak lakon dibuat berdasarkan fragmen ini. Mulai dari musik (Ananda Sukarlan membuat komposisi dua piano berjudul The Humiliation of Drupadi, film Drupadi oleh Leila Chudori, hingga karya tari tentang Drupadi oleh Elly Luthan). Kini giliran Dalang Ki Bambang Asmoro, mengangkat episode kelam ini dalam pentas wayang kulit kolaboratif bertajuk Senjakala Kurusetra yang ditampilkan di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan pada Kamis (12/2).

Pementasan ini bertajuk kolaboratif karena tak hanya menampilkan panggung wayang kulit seperti biasanya. Namun juga mempertunjukkan pengolahan musik lintas instrumen dan beberapa adegan yang ditarikan oleh Elly Lutan dan beberapa penari dari kelompoknya.

Konsep pertunjukan ini dirancang Bambang Asmoro sejak sebulan silam. Kepada sejumlah seniman yang mendukung acara ini—Elly Lutan, dalang muda Nanang Hape, Yanusa Nugraha dan Prapto Panuju—Bambang menawarkan naskah Dursasana Jambak yang pernah dibawanya ke Festival Dalang Indonesia di Surabaya pada 2005.

“Kemudian naskah itu dirombak lagi. Kalau mengangkat dari sisi Drupadi, sudah banyak yang menampilkannya. Akhirnya kenapa tidak dari sisi Dursasana dengan menampilkan konsep karma dan darma,” ujar dalang kelahiran Pacitan, 17 Januari 1967 ini.
Karma yang dialami Dursasana dikisahkan Bambang Asmoro dengan alur tidak linier. Ia membuka pertunjukannya dengan adegan peperangan Bharatayuda di Kurusetra. Saat Dursasana terdesak oleh serangan Bima, ia pun mulai mengingat kembali masa lalu ketika perjudian antara Kurawa dan Pandawa.

Adegan kembali ke masa lalu ini ditampilkan dalam bentuk drama tari. Tampil karakter Sengkuni, Dursasana, Puntadewa dan Drupadi (diperankan Santi Dwi Saputri). Kelicikan Sengkuni dalam mengolah dadu menyebabkan Puntadewa menerima usul Sengkuni menjadikan Drupadi sebagai taruhan. Ketika kalah, upaya Dursasana menelanjangi Drupadi gagal karena campur tangan dewa yang membuat kain kemben Drupadi tak pernah habis diurai. Sejak kejadian itu, Drupadi bersumpah tak akan menggelung rambutnya sebelum keramas darah Dursasana.

Adegan selanjutnya kembali ke layar wayang kulit. Mengisahkan kekejaman Dursasana yang membunuh dua rakyat kecil: Tarko dan Sarko yang dituduhnya membantu Pandawa. Karena kalah berjudi, Pandawa dihukum 12 tahun pembuangan. Satu tahun pertama, mereka tidak boleh menerima uluran tangan siapapun. Jika terbukti dibantu, mereka harus memperpanjang masa hukuman.

Bagian goro-goro yang biasanya berisi lawakan dan kritik sosial terkini, ditampilkan dalang yang sehari-hari bekerja di Departemen Komunikasi dan Informasi ini dengan memainkan tokoh punakawan Petruk, Gareng, Semar dan Tejamantri. Pembahasan soal karma dan darma terjadi dalam percakapan antara Semar dan Tejamantri yang merupakan jelmaan dewa. Begitu pula konsep karma dan darma kembali dibahas dalam dialog antara Prabu Kresna dengan Prabu Salya—mertua Duryudana. Baik Kresna dan Semar menegaskan bahwa Dursasana tak dapat menghindari karma atas kejahatan yang dilakukannya.
Kemunculan adegan tari kembali terjadi di bagian akhir ketika alur yang tak linier itu mengembalikan penonton ke adegan pertempuran antara Bima dan Dursasana. Saat itulah muncul Elly Lutan sebagai Drupadi di masa tuanya. Ia menari dengan gerakan dasar tari Jawa sambil mengekplorasi rambut panjang yang diurainya lepas. Begitu Dursasana tersudut, tampil penari lainnya yang memerankan Dursasana dalam wujud manusia. Ia terkapar di tengah panggung. Secara perlahan, Elly menarik kain merah dari tengah layar sebagai lambang darah Dursasana.

Pentas ini berdurasi dua jam sebagai salah satu contoh konsep Pakeliran Padat yang diusung Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dan diciptakan oleh dalang ternama almarhum Gendon Humardani pada 1980-an. Untuk mendekati penonton muda, konsep Pakeliran Padat meringkas pentas wayang semalam suntuk menjadi durasi beberapa jam.

Upaya menjaring kaum muda tak hanya disuguhkan Ki Bambang Asmoro dengan menggunakan konsep Pakeliran Padat. Namun juga lewat kolaborasi dengan bidang seni lainnya. Meski demikian, penggunaan bahasa Jawa klasik tetap dirasa menjadi kendala, walaupun dari sisi aspek rasa, memang lebih mantap menonton pertunjukan wayang dalam versi bahasa aslinya.

Dewi Ria Utari

Jumat, 27 Februari 2009

Menpan Lantik Pengurus PEPADI Pusat Periode 2009-2013

Jakarta, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi melantik Pengurus baru Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) pusat Periode 2009-2013 di Gedung Pewayangan Kautaman Jl. Pintu I TMII Jakarta, Jumat malam, 27 Pebruari 2009. Dalam sambutanya ia mengatakan bahwa PEPADI dan Sekretariat Pewayangan Indonesia (SENAWANGI) mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengubah mainset generasi penerus bangsa agar tidak kehilangan arah.

“Salah membajak sawah akan rusak padi semusin, salah membawa bangsa ini akan rusak semua generasi,” katanya”. Kita bertanggung jawab terhadap bangsa ini dan yang kita perbuat harus berguna bagi nank cucu kita, itu saja “imbuhnya.

Pepadi menurutnya kelompok orang –orang biasa yang memiliki komitmen dan kemampuan luar biasa.

“Saya sebenarnya ada dua acara yang sangat penting, tetapi kemuadian saya memutuskan untuk melantik pengurus PEPADI, karena disini terkumpul orang yang luar biasa, bukan yang biasa-biasa saja, orang-orang yang mempunyai cara berfikir luar biasa.”katanya.

Lebih lanjut, Menpan berpesan kepada Pengurus PEPADI bahwa ada tiga hal yang harus dipegang. Pertama, konseptual, yang dijabarkan bukan hanya segebok keinginan tetapi harus punya sesuatu yang disusun secara frakmatis, komprehensip dan inovatif, jika ingin melanggengkan seni budaya pewayangan. Kedua, harus betul-betul kreatif, tetapi bukan kreatif murahan. Menurutnya kreatif yang keluar dari pakem akan tidak langgeng atau hanya sebentar saja hidupnya. Wayang akan kehilangan ruhnya, hanya hampa dan kosong belaka. Ketiga, punya ukuran yang jelas sehingga organisasinya akan lebih maju, wayangnya lebih maju sehingga bangsa kita menjadi lebih cerdas secara intelektual dan spiritual.

Sementara itu Ketua Pepadi Pusat Ekotjipto dalam sambutannya mengatakan, ia merasa bersyukur Munas PEPADI ke V, Festival wayang Indonesia 2 dan Temu wayang ASIA yang diselenggarakan di Yogjakarta 14-17 Desember 2008 dinilai sukses dan sekarang Pepadi hasil Munas telah menetapkan kepengurusan baru. Kesuksesan itu atas izin Tuhan Yang Maha Esa dan dukungan dari berbagai pihak. Lebih lanjut Ekatjipto mengatakan, wayang saat ini dinilai tidak lagi berada di wilayah pinggiran tetapi sudah merambah ke “mainstream”.

Sementara itu menurut Ekotjipto Pepadi dan Senawangi merupakan satu kesatuan wadah untuk memajukan wayang ke depan. Sedangkan program Pepadi kedepan akan menitik beratkan pada pengenalan wayang ke generasi muda, antara lain pengenalan wayang ke sekolah dengan paket pertunjukan pendek dan murah. Untuk meningkatkan kemapuan pelaku pewayangan“Upgreding” Swarawati dan Pengrawit juga akan dilakukan dan tak kalah pentingya mempererat kemitraan antara PEPADI, perguruan tpnggi, swasta dan pemerintah.

Ekotjipta juga berpesan kepada para pengurus baru untuk membudayakan semangat kerja tanpa pamrih.

“Budayakan kerja sepi hing pamrih, rame hing gawe”.tuturnya.

Pelantikan ditutup dengan pergelaran wayang Golek Sunda dengan Dalang Ki Apep Hudaya, salah satu nominasi pada Festival Wayang Indonesia ke 2 di Yogjakarta. (Bas).

Selasa, 03 Februari 2009

Sandyokolo Kurusetra Sebuah Renungan Darma dan Karma


Pementasan Wayang Kulit Kolaborasi akan di suguhkan Ki Bambang Asmoro di Warung Apresiasi Bulungan pada Tanggal 12 Pebruari 2009 jam19।00 – 21.00 WIB . Pementasan ini di gelar dalam rangka menumbuhkan minat apresiasi generasi muda terhadap wayang. Kemasan semi teatrikal disuguhkan agar wayang tidak monoton dan tampil dengan segar tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur dalam wayang.


Dursasana, yang menjaga kelangsungan darma dengan rela dicerca dan dimaki sepanjang hayatnya. Banyak kisah perbuatan tak terpuji Dursasana dalam beberapa lakon, yang di gambarkan dalam pakeliran Ki Bambang Asmoro, antara lain ketika Dursasana meyianyiakan perempuan (Drupadi) dalam lakon Pandhawa Dahu, peristiwa Dursasana membunuh Sarka dan Tarka seorang rakyat jelata “tukang Satang Perahu” dan ketika Dursasana menghina Sri Krisna titisan Bathara dalam lakon Kresna Duta. Dalam lakon ini Dursasana digambarkan bahwa meski telah banyak karma buruk yang telah diperbuat, ia yakin akan terampuni ketika bertobat saat ajal menjemput.

Pertunjukannya sendiri akan diawali oleh Dalang dengan gambaran perang Baratayuda hari ke 12 saat Abimanyu maju ke medan laga, hingga Abimanyu terkena hujan panah dan mati “samyuh” dengan Lesmono putra mahkota Hastina. Untuk memeperlihatkan kebengisan Dursasana, dalam adegan ini kelirkan, Abimanyu yang sedang sekarat masih di pukul dengan Gada hingga terkulai.

Mendengar Abimanyu gugur, Gatutkaca maju ke medan pertempuran, meski hari telah malam. Para Raksasa dari Ngawangga dan Pringodani saling berperang, dan bala tentera Ngawangga banyak yang mati oleh Gatutkaca. Karena suasana gelap Adipati Karna memerintahkan para prajurit awangga untuk menggunalan obor. Dipati karna akhirnya mengeluarkan sanjata pamungkas dan gatutkaca gugur sebagai kesatriya tama.

Mendengar Gatutkaca gugur, Werkudara maju ke medan laga dengan bersenjatakan Gada Rujakpolo membabat semua yang ada di sekitarnya. Dursasana yang sedang melihat-lihat suasana peperangan merasa ngeri dan berbalik arah. Dursasana teringat masa lalu ketika selalu menyengsarakan pandawa.. Lamunannya menerawang jauh hingga saat permainan dhadu.

Adegan berikutnya, gambaran suasana dadhu oleh para pemain (orang) di depan layar hingga Drupadi “ditelanjangi” Dursasana dan Drupadi bersumpah tidak akan “gegelung” jika tidak keramas darahnya Dursasana. Setelah itu Pandawa diceriterakan menjadi orang “buwangan 12 tahun”.

Dikelir dalang, Duryudana dan Dursasana sedang merencanakan akan membunuh pandawa pasca dadu dan Dursasana diperintahkan untuk hal itu. Adegan melompat pada Sarko dan Tarko dua orang penjual jasa penyeberangan, yang diangap bersekongkol dan menutupi keberadaan pandawa. Maka keduannya dibunuh dengan keji oleh Dursasana sebagai “tumbal” kemenangan Korawa kelak pada perang Bartayuda. Sukma Tarko menyumpahi Dursasana jika kelak ia akan mati dengan cara seperti yang dialaminya. Dursasana tidak takut sedikitpun, karena menurutnya ia akan terbebas dari karma jika ia bertobat.

Meski pertunjukannya sendiri hanya 2 jam dan dalam lakon yang serius, tetapi Ki Bambang Asmoro juga akan menyuguhkan suasana riang dengan menampilkan Adegan berikutnya intemezo untuk melepas ketegangan sesaat.

Adegan berikutnya secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut; cuplikan lakon Kresna Duta digambarkan untuk memepertebal karma Dursasana. Dursasana dalam keragu-raguannya juga meminta pendapat kepada Semar, yang kala itu sedang berdiskusi secara serius dengan Togog masalah karma. Dursasana yang salah mengartikan kata-kata Semar, maju ke medan laga untuk berperang melawan Werkudara. Ketika melompat bengawan Cing-cing goling, Dursasana dihambat oleh sukma Tarko dan Sarko sehinga ia bisa di ”jambak” rambutnya, dan selanjutnya mati ditangan Werkudara. Drupadi pun sumpahnya terpenuhi dengan keramas darahnya Dursasana.

Ki Bambang Asmoro yang juga karyawan Depkominfo ini juga menuturkan bahwa, persepsi Dursasana dalam memandang karma dan kematian ternyata salah. Kesalahan cara pandhang Dursasanalah yang berusaha di ketengahkan dalam lakon ini. Antara hitam dan putih masing–masing memiliki kuwajiban yang sama dalam kontek karma dan darma, yang semuannya akan bermuara pada keilahian sesuai apa yang telah dititahkan.

Penari terkenal Elly Luthan juga akan mendukung pergelaran ini dengan menjadi Drupadi sepuh. Sedangkan Drupadi nom (saat permainan dadu) akan diperankan penari muda Santi Dwi Saputri. Selain itu pertunjukan ini didukung beberapa seniman muda terkenal, seperti; Nanag Hape, Tendri , Kiki Dunung, Jangrono Sutrisna, Prapto panuju, Dirman, Yanusa Nugraha, Irwan riyadi dll. Datang dan saksikan. Sayang, jika sekelumit pesan anak muda ibu kota ini untuk dilewatkan begitu saja.(Nn Hape).