Jumat, 06 Maret 2009

Tatkala Dursasana Gugur di Tangan Bima



SINAR HARAPAN: 12 Fbruari 2009

Jakarta - Penari itu menarik kain merah yang terselip di bawah kelir wayang kulit. Elly D Luthan melangkah pelan, menjauhi kelir (layar). Dalang memperlihatkan sosok Dursasana yang mati di tangan Werkudara (Bima). Adegan ini mengakhiri mimpi Drupadi yang ingin mencuci rambut dari darah Dursasana. Bagi Dursasana, inilah karma dirinya, dikiranya dia mampu berbuat kebajikan menjelang kematian, tapi ternyata “pisuhan” (umpatan kasar) yang keluar dari mulutnya, “Bima asu, anjing, bajingan...”
Kamis (12/2), di Warung Apresiasi Bulungan, Jakarta Selatan, kolaborasi antara wayang kulit dengan dalang Ki Bambang Asmoro dan koreografer sekaligus penari Elly Luthan – berperan sebagai Drupadi tua, dipergelarkan.

Pertunjukan ini juga didukung Santi Dwi Saputri yang berperan sebagai Drupadi muda, juga seniman lainnya seperti “dalang muda” Nanang Hape, Tendri, Kiki Dunung, Janggrono Sutrisna, Prapto Panuju, Dirman, Irwan Riyadi hingga Yanusa Nugroho.
Pertunjukan berlakon Sandyakala Kurusetra ini memang tak disajikan sebagaimana pertunjukan wayang kulit biasanya, karena yang diambil adalah berbagai peristiwa menggambarkan karakter seorang Dursasana. Durasi yang singkat - berbeda dengan pergelaran wayang semalam suntuk seperti biasanya – tak mengurangi klimaks adegan akhir lakon ini. Pertunjukan singkat sekitar dua jam lebih memakai model “wayang kulit pakeliran padat”.

Bila untuk pertunjukannya, dalam dua kali latihan, mereka sudah mendapatkan bentuk. Namun, untuk penggarapan naskah, menurut dalang yang juga karyawan Departemen Komumikasi dan Informatika ini, mereka garap dalam waktu sebulan. Perkara kain merah yang “keleleran” di bawah kelir, justru mampu memadukan dunia tari dan wayang. Terutama kekuatan Elly Luthan berhasil mengisi adegan akhir dendam dan kedukaan di wajah dan gerak tubuhnya. Padahal, awalnya, penampilan penari di depan wayang, kelir dan gamelan nyaris terkesan menjadi aksesori pertunjukan belaka.

Ada di Keseharian

“Tokoh Dursasana ada dalam keseharian hidup ini,” papar Ki Bambang, sambil tersenyum. Karena itu, darma yang menjadi buah kebajikan pada Dursasana tak terbukti di saat dia mati. Karmalah yang menyertai akhir hayatnya.
Pertunjukan ini bertujuan ingin mengangkat persepsi Dursasana yang keliru dalam memandang karma dan kematian. Suatu pesan moral yang disampaikan dengan cara menyenangkan, menghibur dan mengena bagi generasi muda.

Ungkapan bahasa Jawa “nabrak” dari kromo inggil, kromo madyo, ngoko, sampai bahasa Indonesia dilontarkan oleh Ki Bambang Asmoro. Kendati, bahasa kromo antarsatria Pandawa masih menghias dialog secara dominan, percakapan ngoko antarpunawakan tetap dimunculkan, bahasa Indonesia sesekali mencuat dalam dinamika dialog bahasa Jawa.
Untuk masalah ini, Ki Dalang mengaku ingin menyajikan dalam bahasa Indonesia, namun kemudian tetap mengembalikannya dalam bahasa Jawa. “Tetap dalam bahasa Jawa, eman-eman (sayang), roh sastra Jawa-nya bisa lepas,” papar Ki Bambang. (sihar ramses simatupang)




Copyright © Sinar Harapan 2008

Tidak ada komentar: