Kamis, 05 Maret 2009

" Hanya Menjadi Dursasana "



KORAN JAKARTA: Minggu, 15 Februari 2009 01:02 WIB
Posting by : Administrator

Lakon pertunjukan wayang yang kerap diadakan semalam suntuk, diringkas menjadi dua jam. Namun, tak ada dekonstruksi cerita. Masih hitam putih. Rivalitas abadi kejahatan dan kebaikan.

Dursasana akhirnya menerima karma atas perbuatannya menelanjangi Drupadi

Lakon pertunjukan wayang yang kerap diadakan semalam suntuk, diringkas menjadi dua jam. Namun, tak ada dekonstruksi cerita. Masih hitam putih. Rivalitas abadi kejahatan dan kebaikan.

Drupadi –diperankan oleh penari senior Elly D Luthan- menari dengan gerakan lambat, tangannya mengayun lembut sementara kakinya mengimbangi dengan langkah pendek-pendek. Indah. Drupadi menari dengan membebaskan tubuhnya untuk bergerak sendiri. Sesekali tubuhnya mengejang merasakan harmoni kelembutan yang dibangun. Seolah gelisah.

Gamelan yang mengalir satu-satu dan lolongan pengrawit memberi latar suara yang kian mengiris. Drupadi menarikan kesedihan, juga marah, dan penantian panjangnya. Rambutnya yang terurai panjang tak beraturan semakin menguatkan gambar luka hatinya. Sudah belasan tahun Drupadi tak mengikat rambutnya. Sekarang waktunya.

Di pakeliran pertarungan barbar satu lawan satu sedang berlangsung. Dursasana dan Bima tohpati. Gada beradu gada, tendang beradu tendang. Penuh harus tepuaskan dendam. Ya, perang karma dan darma. Darma Bima untuk memenuhi sumpahnya membunuh Dursasana. Dan karma Dursasana atas semua perbuatannya di masa silam. Dalam perang agung Bratayudha Jayabinangun darma atau karma sebesar zasat renik pun harus terbayar lunas. Seperti ibu muda yang menunggui anak pertamanya, Drupadi gelisah menunggu akhir cerita. Tapi, ia tetap menari.

Dalam sebuah kesempatan, Dursasana lengah pancanaka –kuku Bima- merobek perutnya. Belasan tahun yang dinanti Drupadi datang juga. Dursasana pralaya dengan tubuh tercabik-cabik mengerikan. Perlahan Drupadi mendekat, simbah darah Dursasana diraupnya lalu dibalurkan pada seluruh rambutnya. Lampu latar menyala merah. Darah. Sumpah terlaksana dan Drupadi menggelung kembali rambutnya.

Tarian Drupadi di panggung dan pertarungan barbar Bima dengan Dursasana di pakeliran tadi adalah adegan puncak Sandyakala Kurusetra, yang menggambarkan suasana palagan Kurusetra dalam perang Bratayuda Jayabinangun. Dalangnya ki Bambang Asmoro, karyawan Depkominfo lulusan dari STSI Surakarta tahun 1993.

Sandykala Kurusetra yang manggung di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta (12/2) adalah pakeliran padat yang menggabungkan antara kelir wayang dan dalangnya, teater serta tari. Kelir padat sebetulnya bukan konsep baru, almarhum SD Gendon Umardani yang pertama kali menggagas konsep itu di tahun 90-am saat masih di Sasana Mulya keraton Solo. Satu lakon wayang yang biasanya makan waktu semalam suntuk saat dipentaskan, diringkas menjadi hanya beberapa jam. Tentu tanpa mengorbankan keindahan estetisnya. Lihat saja subplot-subplot yang berserak dalam Sandykala Kurusetra. Abimanyu Rajam, Gathotkaca Gugur, Kresna Duta sampai Pandawa Dadu yang dalam pertunjukan wayang tradisional merupakan sebuah cerita yang berdiri sendiri.

Bambang bisa dibilang sukses pada adegan puncak saat Drupadi keramas dengan darah Dursasana. Dua adegan yang tampil bersama –Drupadi yang menari di latar depan dan serta Bima yang sedang bertarung dengan Dursasana di kelir- sebenarnya penonton rawan terpecah perhatiannya. Tapi Bambang –dan juga Elly- secara cerdas memanfaatkan sudut pandang penonton dalam garis sejajar. Otomatis, ketika penonton menikmati gerak kesedihan Drupadi, maka pertarungan hidup mati Bima dan Dursasana di pakeliran melengkapi menjadi rohnya. Penonton hanyut pada dua adegan yang menyatu.

Fragmen puncak itu setidaknya menjadi penebus panggung yang kedodoran di tengah pertunjukan. Perjudian antara Pandawa dan Kurawa di pasewakan Astina yang mestinya menjadi titik masuk semua cerita tak tergarap maksimal. Juga, saat Drupadi ditelanjangi. Mestinya di titik ini penari –Drupadi muda diperankan oleh Santi Dwi Saputri - bisa “bermain-main” dengan eksplorasi estetik. Penderitaan Drupadi, marah, malu dan sakit hatinya mengalir datar saja. Padahal karakter Drupadi di titik ini sangat kuat. Kurang apa Drupadi sebagai istri yang setia hingga harus, dipertaruhkan, ditelanjangi, lalu diewer-ewer auratnya oleh Dursasana di depan banyak orang. “Kita memang kesulitan memvisualisasikan permainan dadu itu. Sekelas pak Narto –Nartosabdo- saja yang bisa,” ujar Bambang memberi alasan.

Darma dan Karma
Bambang bercerita, Sandykala Kurusetra berkisah tentang dharma dan karma. Sebuah cerita hitam putih tentang si baik yang mengalahkan si jahat. Tema yang sebenarnya bisa saja sangat bias karena tergantung dengan sudut pandang sang dalang. Pandawa menang karena baik. Kurawa kalah karena jahat. Tak ada ruang untuk interpretasi. Ini juga dilakukan oleh Bambang Asmoro, sang dalang. Dursasana taken granted sudah jahat, Duryudono dan Sengkuni juga. Puntadewa dan Pandawa selalu menjadi pahlawan. Padahal, orang baik mana yang tega mempertaruhkan saudara, negara, istri dan semua yang dimilikinya demi judi?

Dursasana akhirnya menerima karma atas perbuatannya menelanjangi Drupadi. Tapi siapa yang menghukum Yudistira karena mempertaruhkan istrinya. Dalam kacamata Yudistira –maaf kacamata para dalang- Drupadi istrinya tak lebih dari sekadar properti yang bisa dengan mudah dipindah tangankan, bahkan dengan taruhan judi sekalipun. Yudistira tak memerlukan “bertanya” pada Drupadi, apakah bersedia menjadi taruhan.

Tak bermain di ranah konsep memang diakui oleh Bambang sendiri. “Kita sebenarnya mau bongkar itu. Dursasana dibuat bagus, bahkan ketika dia mati, Bima menangisi Dursasana dan penonton kita buat berpikir mesak’e banget Dursasana matinya –dengan badang hancur lebur- demikian,” jelas Bambang.

Tapi, di sisi lain Bambang merasa kesulitan karena dari awal pagelaran Sandykala Kurusetra berangkat dari ide karma dan darma. Selain itu, dalam kondisi sekarang, masih menurut Bambang, ide itu juga memotret kekinian dimana orang-orang lebih memilih berperan menjadi Dursasana .

Sempitnya ruang untuk mendaur ulang karakter Dursasana bahkan tercermin dalam adegan puncak. Menyadari karmanya, Dursasana kemudian memulai pencarian swarga langgeng-nya dengan bertanya pada Semar. “Jalan mati seperti apa, dengan segala karma itu bisa mencapai swarga langgeng.” Tanya Dursasana. Pasrah dan ikhlas. Tapi Bambang juga tak memberi kesempatan pada Dursasana. Ketika dia menjelang ajal, bukannya menyebut sang penciptanya. Dursasana malah memberondonkan makian. “Bajingan, bajingan, bajingan mati aku.”

Tentang konsep hitam-putih memandang darma dan karma Bambang menyebut lain waktu dirinya akan mulai menggarap “Untuk Sandykala Kurusetra kita memang belum merambah kesana. Lain waktu kita akan bongkar itu. Mau kita jungkir balikan wayang ini juga berani kok,” terang dalang kelahiran Pacitan 17 Januari 1967 itu.

Secara umum penampilan Bambang dan kawan-kawan kali ini tebilang memikat. Wayang yang biasanya identik dengan generasi sepuh kali bisa dinikmati oleh anak muda. Mereka sesekali terlihat menghela nafas, atau ikut merinding menyaksikan Elly D Luthan menarikan Drupadi. Bila beberapa hal tak tergarap maksimal seperti panggung yang minim, tata lampu yang miskin, atau tampilan teaternya yang garing mungkin kita juga harus maklum pada Bambang. “Di renggo dewe mas –dibiayai sendiri-, alhamdulilah separo didukung yayasan Putra Pendawa. Ini kerja -gotong royong dengan sesama seniman, kalau bayar semua, mati aku,” ujar Bambang menjelaskan biaya Sandykala Kurusetra yang mencapai lebih 15 juta rupiah itu.Tegun Nugroho/Adiyanto
Tegun Nugroho/Adiyanto

Tidak ada komentar: