Jumat, 06 Maret 2009

Karma Dursasana


Karma Dursasana
KOMPAS: Minggu, 15 Februari 2009 | 01:30 WIB

Dalang lulusan STSI Surakarta, Ki Bambang Asmoro (42), menggelar pentas wayang kulit pakeliran padat dengan lakon ”Sandyakala Kurusetra”. Kisah dari perang Bharatayuda itu coba diolah dalam pendekatan semi teatrikal dengan melibatkan instrumen musik modern dan koreografer Elly D Luthan. Berhasilkah kolaborasi itu menyuguhkan pentas segar?

”Sandyakala Kurusetra” dimainkan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan, Kamis (12/2) malam. Dalang mengambil tempat di belakang layar putih, menghadap penonton, sehingga penonton menyaksikan permainan wayang lewat bayangan saja. Musik ditangani Tendri Yusuf serta sejumlah pemusik tradisional.
Pertunjukan dibuka dengan bayangan gunungan berkelebat-kelebat dan sosok-sosok berkilas-kilas di layar. Musik menggedor-gedor. Suasana mencekam itu, demikian dalang berkisah, menggambarkan kecamuk perang Bharatayuda.

Setelah Abimanyu dan Gatutkaca dari Pandawa tewas dalam pertarungan sengit, Werkudara mengamuk. Menyaksikan itu, tiba-tiba Dursasana dari Kurawa ngeri. Adik Raja Duryudana dari Hastinapura itu menerawang kilas balik sebelum perang, saat dia mengakali Pandawa dalam permainan dadu.

Adegan berikutnya dimainkan secara teatrikal oleh beberapa aktor langsung di panggung, sementara permainan wayang pada layar berhenti. Raja Amarta, Puntadewa, kalah main dadu sehingga terpaksa menyerahkan istrinya, Drupadi, sebagai taruhan. Perempuan cantik itu ditelanjangi oleh Dursasana.

Dipermalukan begitu, Drupadi (diperankan Santi Dwi Saputri) marah dan bersumpah. ”Saya tak akan mengeramas rambut, kecuali pakai darah Dursasana!”
Kembali ke layar, wayang kulit menggambarkan, Dursasana kemudian bertarung dengan Werkudara. Lewat pergulatan seru, tokoh brangasan itu pun menemukan karmanya: tewas mengenaskan.

Saat wayang kulit terpaku pada adegan kematian Dursasana, penari Elly D Luthan muncul, memerankan Drupadi yang hendak keramas darah. Dia berputar-putar pelan di antara pemain gamelan, lalu beringsut ke depan layar, menyelaraskan gerak dengan sabetan bayang-bayang wayang. Geliat tubuh dan mimik wajahnya mengekspresikan dendam kesumat teramat perih

Dia ambil selendang merah dari gedebok dalang, dan pelan-pelan dililitkan ke tubuh, kemudian menggelung rambutnya. Prosesi tari ini menjadi simbol Drupadi telah memenuhi sumpah berkeramas dengan darah Dursasana.

Tanggung

Berhasilkah pentas itu menyegarkan pentas wayang? Dalam beberapa hal, kolaborasi itu masih serba tanggung.
Dari sisi cerita, memang ada usaha dari dalang Ki Bambang Asmoro untuk berkisah melalui sudut pandang Dursasana dari Kurawa. Alur cerita pun tak ditata linier, melainkan secara kilas balik. Durasi pentas wayang yang biasanya mencapai 7-9 jam dipadatkan menjadi sekitar dua jam.

”Saya ingin pentas ini lebih menghibur dan memberikan perspektif beda dengan umumnya lakon yang dikisahkan dari pandangan Pandawa saja,” kata Bambang, yang bekerja sebagai pegawai Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) itu.
Namun, bagi penulis beberapa novel wayang dan penggiat Wapres Bulungan, Yanusa Nugraha, penyegaran dari sisi cerita itu belum tergarap maksimal. ”Cerita pentas tak terlalu banyak berubah dari kisah Bharatayuda asli dalam pewayangan Jawa atau India. Perspektif Dursasana belum terbangun kuat sampai menjadi tafsir sendiri atas lakon umum,” katanya.

Penampilan sejumlah aktor dalam adegan main dadu di panggung juga masih agak kikuk sehingga malah mengendurkan intensitas pertunjukan. Gesekan biola dan petikan keyboard yang dimotori Tendri Yusuf cukup mengentalkan suasana beberapa adegan. Sayang, improvisasi ini belum diikuti para penabuh gamelan tradisional lain.
Pertunjukan ”Sandyakala Kurusetra” cukup menarik dilihat dari kemasan penampilan visualnya, tetapi tentu bakal lebih menggebrak lagi jika mau memanfaatkan kekuatan multimedia. Pentas ini tertolong oleh pengalaman Elly D Luthan yang cukup mendalami kisah Drupadi. Keintiman koreografer pada lakon Drupadi pas menyiratkan sosok perempuan yang lama memendam sakit hati.

Meski dengan gerak minimalis, tarian Elly bisa turut hanyut dalam atmosfer suara dalang, sabetan wayang kelir, dan lantunan lagu pilu yang mengiringinya. ”Gerak tari mengalir sebagaimana mengalirnya tarian Jawa klasik. Saya tak terpaku pada bentuk, melainkan lebih mengekspresikan rasa,” katanya. (ilham khoiri)

Tidak ada komentar: