Rabu, 22 April 2009

CATATAN SENJAKALA KURUSETRA YANG TERTINGGAL



SANDYAKALA KURUSETRA
Sebuah Sanggit Soal Karma dan Dharma


Cin Hapsarin
catatan seorang penunjung




Malam itu tak ada hujan membasahi Jakarta, bahkan rintikpun enggan datang. Lalu pertanda apakah ini? Pertanda sang pawang hujan sukses membantu gelar Sandyakala Kurusetra yang dilangsungkan di Warung Apresiasi (Wapres), 12 Februari 2009 lalu.

Tidak semua mengetahui apa sebenarnya arti Sandyakala Kurusetra alias Senjakala Kurusetra itu, terlebih bagi mereka yang tidak dekat dengan kesenian Jawa yang banyak diselubungi aura magi mitologi Hindus itu. Kuru adalah padang pertempuran terakhir yang melibatkan hampir seluruh awak Kurawa dari Hastina maupun klub para ksatria pandawa dari Tanah Amarta. Semua paham jika akhirnya pihak Pandawa yang dimotori oleh kelima satrianyalah yang memenangkan pertempuran. Sayangnya, kisah ini tidak akan pernah ada artinya jika penyederhanaan itu dilakukan, dalam arti sekedar dijenguk dari endingnya. Kisah sensasional ini—untuk tak menyebutnya sebagai tragedi tragis nan romantis—justru menjadi ‘penuh’ apabila ia dapat dipahami secara holistik bahkan melalui celah-celah parsial yang kontekstual.

Malam itu gelar hari ke-12 Baratayudha tampil menjadi adegan pembuka. Keramaian sekaligus keremangan mencekam yang muncul dari setiap ritus perang di dunia dihadirkan ke atas layar lewat kelebat gunungan dan berbagai sosok wayang. Situasi ini juga terbangun dengan apik berkat sentuhan musik Tendri Yusuf, dkk yang berhasil mengkolaborasikan gamelan dan instrumen musik lain macam biola dan keyboard. Penonton pun mulai hanyut mengikuti irama yang disuguhkan dalang.

Alkisah, setelah gugurnya Abimayu dan Gatutkaca, Werkudara segera naik ke medan tempur dengan Gada Rujak pala. Ia berdiri di sana dengan rupa tiada galau, tegak lagi perkasa tiada dua. Di depannya, Dursasana, adiknda Raja Hastinapura Duryudana, berdiri dengan wajah setengah berpaling. Keteguhannya tengah dijajal oleh ingatannya sendiri. Berangsur, terlontarlah Dursasana ke gurat kaki yang pernah diukirnya.

Sebagai flash back, peristiwa pembunuhan Sarka-Tarka, jelata tukang satang perahu yang melindungi keberadaan para Pandawa; penghinaan terhadap Sri Krsna titisan Bathara dalam lakon Krsna Duta muncul dan diakhiri dengan peristiwa Pandawa Dadu yang tampil ke muka dalam bentuk aksi teatrikal. Pada peristiwa pertama sukma Tarko menyumpahi Dursasana jika kelak ia akan tewas persis seperti yang dialaminya. Namun Dursasana tidak sedikitpun gentar karena yakin akan terbebas dari karma jika ia bertobat.

Pada peristiwa dadu yang terkenal itu digambarkan bagaimana kekalahanYudistira hingga akhirnya ia harus merelakan istri lima Pandawa, Drupadi, jatuh ke tangan Kurawa. Dursasana yang larut dalam kemenangan, tak menunggu lama untuk segera mengejar Drupadi. Bukan sekedar dipermalukan tetapi direguk pulalah harga seorang Drupadi sebagai perempuan malam itu; sebuah peristiwa yang menyulut sumpah Drupadi untuk tidak akan gegelung sebelum ia berkeramas dengan darah Dursasana kelak. Santi Dwi Saputri, pemeran Drupadi enom yang terlihat cukup berjarak dengan tokoh yang ia bawakan—walau tetap berusaha tampil dengan gemulai—hadir menarikan babak tersebut. Adegan perang antara Werkudara dan Dursasana pun segera kembali naik ke atas layar, hingga akhirnya ditutup oleh kehadiran Drupadi yang bermandi darah Dursasana yang dibawakan sangat apik oleh Elly D Luthan.

Sandyakala Kurusetra merupakan pertunjukan wayang kulit pakeliran padat gaya Surakarta berdurasi kurang lebih dua jam yang dibawakan oleh ‘Dalang Pejabat’ Depkominfo lulusan STSI Solo, Bambang Asmoro (42). Sudah pasti jika pentas kali ini bukanlah pentas wayang klasik dengan bahasa Jawa mlipis alus ataupun pentas wayang klasik beralur linear. Ini adalah pentas wayang padat yang dibuat dengan konsep edutainment alias ringan-berisi, yang rasanya memang sengaja diciptakan sebagai tawaran yang chick bagi dunia kota yang cepat tetapi haus akan pertunjukan bernuansa reflektif ber-ikon Jawa.

Mengenai tema, kebetulan beberapa saat sebelum sang dalang pentas, ia sempat mengirimkan email kepada saya. Katanya begini, “tema itu...tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan.....Karma dan darma selalu berjalan berdampingan...dan saling menjaga satu sama lain untuk tetap berjalan sesuai porsinya. Konsep yin dan yang...hitam dan putih...akan selalu berdampingan....dan tunduk pada kuasa Hyang Tungal. Kita mau mengangkat keyakinan Dursasana dalam memandang Karma dan Darma......Dursasana keliru menafsirkan Karma. Ia beranggapan bahwa..segala sesuatu dosa yang ia perbuat akan mendapatkan pengampunan dikala menjelang ajal ia bertobat. Ternyata salah bahkan menjelang ajal saat terkena kuku pancanaka Werkudara, ia tidak bisa mengucapkan kalimat suci, mulutnya terkunci rapat, bahkan yang keluar umpatan...sumpah serapah....dan harapan terang untuk mendapatkan swarga langgeng ternyata...hanya..gelap...dan gelap.....Karma tetap berjalan sebagaimana mestinya....tanpa bisa di siasati oleh siapapun....(koruptor dosanya tidak akan terampuni hanya karena ia bertobat).....”

Penjelasan itu menarik minat saya. Sederhana saja, apakah kata-kata kotor yang keluar dari mulut Dursasana tidak dapat dikatakan sebagai pertobatannya? Mungkin secara sekilas semua akan sependapat dan menyatakan pertanyaan saya sebagai bodoh. Tapi saya, yang sama awamnya dengan banyak orang ketika bicara wayang, melihat kemungkinan lain. Pertama, tidakkah hanya Sang Hyang saja yang dapat mengukur batas pertobatan itu dan rasanya hal ini tidak perlu kita komentari lebih. Pertobatan identik dengan perubahan positif, baik itu ditataran ucapan, pikiran maupun tindakan dan di ruang itu hanya waktulah yang dapat menjadi saksi. Sayangnya, dalam kasus ini Dursasana ada pada detik-detik terakhir yang menyiratkan ketakberpihakan ruang dan waktu padanya. Kitab hanya mencatat ucap maki bagi kisah akhir hayatnya. Namun demikian bukankan terkadang pada satu waktu manusia mencapai akumulasi klimaks dari satuan hidup yang telah membentuknya dan hanya ‘pisuhan kecil’ yang terdengar dari rongga mulutnya? Sebuah pisuhan yang akan segera diikuti oleh senyum pias atau tawa datar karena ia telah tiba pada satu padang luas dimana (ilmu) pengetahuan yang dimilikinya selama ini hanyalah salah satu sisi dari sebuah keping, sementara satu sisi lainnya barulah ia pahami ketika semua telah berjalan? (lalu pertanyaan berikut yang bisa diajukan adalah: apakah ada kesadaran yang datang tidak dengan terlambat?)

Yang pasti, entah mengapa, malam itu saya mau menempatkan Dursana pada ruang itu. Berbeda dengan Werkudara yang berkesempatan mencapai puncak pertemuan diri dengan diri pada lakon Air Perwitasari Dewa Ruci dengan cara elegan, Dursasana menemuinya untuk kali pertama justru dalam kali terakhirnya menatap dunia. Sementara karmanya sendiri terbayar sudah ketika ia harus tewas dengan cara yang mengenaskan. Karma dan pertobatan adalah dua hal yang berbeda meski mereka bersaudara. Sebagai catatan saja, saya pikir komentar ini bukan sebuah usaha untuk ‘mempositifkan yang negatif’ atau semacam mencari happy end yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi sesama. Perlu diingat pula jika ini bukan sebuah upaya untuk membenarkan makian sebagai jalan pertobatan. Saya pribadi hanya memiliki kepentingan untuk melihat bagaimanakah sebuah jalan pertobatan bisa dicapai, dengan demikian konsepsi karma dan dharma yang menjadi koridor yang memayungi bisa dibedah secara lebih ‘manusiawi’, dalam arti tidak mengekor dalam ruang hitam-putih yang keras.

Hal lain, keluar dari konteks pertunjukan ini walau tetap terkait adalah mengenai keberadaan tokoh Drupadi. Sudah sejak dulu saya tertanya mengenai perempuan para-pandawa ini. Sekilas tentu kita pernah mendengar jika kedudukan para-pandawa selalu dianalogikan sebagai panca indera dalam konsepsi wadag manusia kita. Lalu jika demikian, bagaimana harus kita maknai dendam dan sumpah Drupadi ketika berhadap-hadapan dengan Dursasana tadi? Ibu, sebagai seorang Ibu yang menjadi rahim hidup pantaskah ia? Atau justru karena sebagai Ibu yang terampas martabatnya Drupadi justru memiliki hak dan kewajiban (yang lebih dari) untuk melaksanakan sumpahnya demi mengembalikan ‘fitrah keperempuanannya? Sesungguhnya, saya bahkan sangat takut pun untuk sekedar membayangkan jikalau dendam itu benar menahun melekat pada kepalnya. Saya tidak berhasil menentramkan diri dan melihat alasan yang cukup masuk akal yang dapat membenarkan tindakan tersebut.

Seorang teman saya, yang juga dalang, segera menegur saya untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan, lebih-lebih jika hal itu dibuat berdasar sudut pandang (‘perempuan’) hari ini. Demikian pula ketika seorang kawan lain menjelaskan bahwa sebenarnya lakon Drupadi, pada naskah klasiknya, tidak menempatkan ia pada kedudukan major. Entah pada kurun kapan, lakon tersebut naik kelas dan semua ini akan berkelindan dengan permasalahan sanggit. Sementara jika harus menilik permasalahan sanggit, perkara akan segera bergerak bebas (tanpa sabuk pengaman) karena hingga hari ini belum ada etik khusus untuk mengatur hal tersebut dan saya yakin seyakin-yakinnya, jika wacana ini ditelurkan pasti akan segera memancing pro-kontra. Pihak-pihak yang mengagungkan kebebasan berkreasi—sebagai pendulum dasar proses mencipta—akan segera berhadapan dengan kelompok yang ‘membutuhkan aturan main yang lebih jelas’ sebagai tameng dari keliaran, alih-alih kebebasan mencipta.

Perkara sanggit ini tentulah sangat menarik untuk diperbincangkan. Bahkan kawan tersebut melanjutkan ujarannya, terutama mengenai ketidaknyamanannya dengan lakon reflektif yang dikenakan Dursasana dalam pertunjukan ini. Baginya, tokoh Dursasana tidak dalam kapasitasnya untuk berada dalam ‘kondisi’ tersebut. Kalau saya tidak salah, ia menyebutnya agak menyimpang. Menurutnya, setiap tokoh wayang memiliki kekhasan fungsi masing-masing. Ketetapan ini meski tidak dalam kapastitas untuk tidak diganggu-gugat tetapi sepatutnya tetap dilekatkan pada pakemnya. Itu artinya, jangan memaksakan satu karakter yang tidak menjadi karkater bawaan tokoh yang dimainkan.

Kembali pada masalah Drupadi, baiklah, saya pikir mereka semua benar, sangat benar malah...masalahnya kemudian, sejauh ini saya tidak—atau belum menemukan—penjelasan berlatarbelakang konteks kala itu. Jika demikian kita akan segera memasuki aspek sosiologis dan itu akan sangat menarik, paling tidak bagi saya. Dengan penjelasan itu akan terpapar bagaimana hidup perempuan dan pertautannya dengan lingkungan. Saya tidak tahu apakah hal ini cukup memungkinkan tapi kajian tersebut tentu akan memperkaya gagasan maupun sudut pandang kita dalam memahami masalah.

Proses pembuatan naskah dan penggarapan pertunjukan ini sendiri menghabiskan waktu sekitar 1,5 bulan saja; sebuah waktu yang tak bisa disebut panjang dan melibatkan kawan-kawan di Komunitas Suluk Linglung seperti Nanang Hape, Prapto Panuju, Tendri, Jangrono Sutrisno, dan Dirman. Lalu ada nama-nama yang tak asing seperti Kiki Dunung, Yanusa Nugraha, Irwan Riyadi, dll. Seperti halnya pentas lain, kendala terutama yang mereka hadapi—selain perkara klasik yang tak perlu disebut yakni ketiadaan sponsor—adalah menanak naskah agar dapat mudah dimamah-renyah. Bongkar pasang adalah situasi tak terelakkan dan terkadang jadi sangat menyulitkan mengingat tiap personel memiliki kesibukan masing-masing. Syukurlah, semangat untuk ‘nguri-nguri tradisi dengan logat kota’ berhasil menyatukan mereka.

Nah, malam itu suasana remang dengan cahaya yang cenderung under di sana-sini tampak membungkus Wapres...walau demikian pengunjung tetap terlihat padat bahkan hingga akhir pertunjukkan. Beberapa kawan yang sebenarnya dibekali kemampuan sangat minim untuk mengikuti dialog dalam Bahasa Jawa pun tetap tekun menyimak jalannya pertunjukan hingga akhir. Begitupun beberapa teman lain yang, kalau boleh dikata, tidak memiliki kedekatan dengan ikon Jawa ini, tetap duduk santai menikmati pertunjukan sambil sesekali berkomentar out of the box alias berkelakar saja menyaksikan beberapa adegan yang sebenarnya, entah mengundang tawa, entah tidak.

“Ya, bolehlah buat Jakarta yang kayak ini,” ujar Agung, seorang anak muda dengan logat Betawi kental tapi sempat 10 tahun tinggal di Jogja. “Tapi kalo udah pernah nonton wayang di Jogja sih pasti berasa ada yang kurang kalo lihat yang begini...tapi yaaa bagus juga sih misalkan bisa sering-sering dibikin...biar Orang-orang Jakarta berkurang gilanya, tug!”, sambungnya bersemangat diikuti tawa yang lumayan menggema. Beberapa orang disekitar Agung tampak melirik memberi tanda kalau suaranya sudah terlalu keras meski mulut mereka tak terbuka barang satu atau dua centipun.

Ya, di Jakarta ini segala sesuatunya memang berkelebat cepat termasuk kelebat dari satu kegilaan ke kegilaan lain. Ah, lalalala...perbincangan belum usai tapi malam mulai menghampiri. Sepenggal resah pun menggelayut menemani langkah kaki untuk segera beringsut menuju Gudeg Panglima Polim... Selamat malam Jakarta, Selamat malam Jawa... Rupanya mereka masih saja asik dalam buai lelap mimpi masing-masing...entah sampai kapan...

Tidak ada komentar: