Senin, 25 Januari 2010

Taman Mawar: Tentang Dhalang Bambang, Dhalang Wawan



Sebuah catatan yang tertunda.(oleh: Iskak wijaya)

Bayangkan jika suatu hari Anda diundang untuk mengunjungi sebuah taman mawar. Jika Anda seorang penikmat mawar, apa yang terbayang dalam benak? Kemasyukan dan gairah barangkali. Membayangkan dan bakal mencium aroma mawar merah di taman sangat luas, di tengah-tengah kembang yang sejenis! Apa Anda sadar bahwa untuk hadir di sana, di tengah kemerahan itu, Anda tidak mesti mengenakan warna merah?

Apa yang terjadi ketika Anda keliru? Ternyata taman mawar itu menyuguhi Anda dengan kelopak bajunya yang tidak hanya merah? Melainkan kuning, putih, biru dan – anehnya – ada yang belang-belang?

Bagi seorang penikmat tulen mawar merah akan bertanya-tanya. Siapa yang memungkinkan warna-warna yang menelikung sumber aslinya itu? Gerangan apa yang dimaui yang pencipta keragaman itu?

Bagi yang tidak puas, warna selain merah bagi sang mawar merupakan ketidakmungkinan. Wujud yang bukan diadakan, melainkan diada-adakan; sebuah anti-kemapanan, anti-selera, dan tentu saja jahil. Pertanyaan lain: siapa sosok perancang dan pencipta mawar-bukan-merah itu? Bagi seorang yang sedang kasmaran bisa jadi bertanya: apa hebatnya mawar biru kala sang pecinta ingin mengirimkan tanda tulus pada kekasih? Merah lebih pas, lebih beraksi, lebih asli.

Hadir dalam sebuah taman mirip kehadiran dalam sebuah pementasan, sebuah pagelaran. Namun di luar itu semua, jika sang penikmat cukup jeli, ia akan mempertanyakan tanggung jawab sang juru taman yang menciptakan keanekaan itu. Bertemuanya gagasan tradisi mawar merah dan mawar-bukan-merah karena ada unsur lain: ada peran konsep penataan kontemporer, tata cahaya untuk memuaskan mata secara modern, wilayah-wilayah yang disatukan sekaligus untuk memisahkan yang tradisi dan bukan-tradisi, serta aspek kekuasaan yang memiliki kewenangan sah dari sang juru taman, tidak lain sang dhalang.

Pagelaran taman wayang: dengan warna gagrag Surakarta, warna Sunda, warna Teater, warna musik kekinian, semua itu sepenuhnya adalah bagian dari keseluruhan yang sejenis: taman wayang itu sendiri. Sama dengan mawar-bukan-merah, ini merupakan teknik perekayasaan. Dan sebuah tampilan memang menjadi wakil dari rekayasa kebudayaan, rekayasa nalar, dan yang sangat penting – seringkali ini agak dilupakan – adalah rekayasa tanggungjawab.

Jika sang penikmat (penonton, penghayat, penggemar, penggembira) sepenuhnya mengafirmasi atau menyetujui, malah tidak sepakat sekali pun, maka sang juru rekayasa (seluruh elemen penggagas dan pengusul serta aktor subyek juru taman/dhalang) mesti memiliki alasan atau kerangka fundamental yang kokoh untuk menjelaskan mengapa warna-warna itu menjadi tidak mustahil.

Sebuah teori atau konsep – menurut pandangan yang optimis – akan menjadi semakin kuat dan berakar tatkala ia bersedia berhadapan dengan kritik dan upaya pendongkelan lainnya. Justru konsep atau ide itu akan menjelajah dan mengembara kemana-mana karena ia mampu bertanggungjawab pertama-tama bukan pada penikmat/pemakai melainkan pada dirinya sendiri terlebih dahulu. Dengan demikian, apapun asumsi dari hasrat penciptaan akan membumi dengan sendirinya dan tahan lama, sehingga memungkinkan menjadi tradisi baru. Semangat penerimaan kritik dan pertanggungjawaban ini bukan didasari oleh keinginan konflik antara kedua pihak, tetapi karena ‘uji materi’ secara akademi kehidupan, bukan akademi sekolahan.

Yang demikian itu sesungguhnya menjadi titik pusat bagi sebuah kolaborasi. Dalam pengertian ini kolaborasi bukan bekerjasama karena persamaan melainkan bekerjabeda atas dasar perbedaan. Dua pihak memiliki niatan untuk bergandengan justru karena saling percaya atas perbedaan-perbedaan masing-masing, sementara pada saat bersamaan berkenan untuk dibarengkan.

Taman pagelaran yang sudah lewat, dari sang Dhalang Bambang-Dhalang Wawan untuk Brubuh Alengka telah mewakili perhelatan taman mawar-bukan-merah itu. Karena waktu tak bisa dihentikan, pentas itu juga akan diuji oleh sang waktu. Sedetik setelah gelar usai, yang tersisa tidak lain adalah jejak dan tafsir. Komentar atau analisis sebuah gelar adalah sah secara metodologis. Entah untuk kritik, entah untuk perbaikan, entah untuk apapun. Tapi satu hal yang jelas: tanggungjawab sang juru dhalang adalah mutlak dan ini berlangsung sampai waktu yang entah kapan. Itulah yang tetap dipikul seorang pelaku, figur subyek. Dimanapun.

Akhir kalimat, taman pagelaran akan menunggu untuk diperlakukan siapa saja. Dan secara etis-estetis, seorang dhalang pagelaran mesti siap untuk maju, berhadapan dengan niat baik sang penikmat, penghayat, maupun mereka yang tidak sepakat.

Bahkan jika dalam taman semua mawar adalah merah, setiap mawar tidak pernah sama dengan temannya.