Rabu, 22 April 2009

TERLAMBAT KE SWARGALOKA?!

metro-sunday review dari “Pertemuan Dua Hati”


Cin Hapsarin
catatan seorang penunjung


Hari ini 19 April 2009, teman saya memacu motor lebih cepat. Langit mulai gelap dan yang pasti kami sudah terlambat ke Swargaloka. Untunglah hari ini hari Minggu dan tidak ada macet seperti biasa. Mengenai swargaloka itu, jangan cepat membayangkan yang tidak-tidak... Surga ini adalah bagian dari pentas drama wayang yang digelar oleh The Indonesian Opera - Yayasan Swargaloka bekerja sama dengan Sena Wangi di TMII, judulnya...ah, bahkan sampai memasuki tempat pertunjukan saya tidak ingat apa judul pentas kali ini. Saya hanya antusias datang karna mendapat undangan di Face Book. Satu-satunya bekal saya adalah jadwal alias waktu serta tempat, sementara sisanya—sinopsis, dll—saya abaikan. Sudah pasti jika di kepala saya wayang urban Nanang Hape atau Sandyakala Kurusetra Bambang Asmorolah yang menjadi referensi, tapi ternyata...

Memasuki ruang jelas saya langsung terhadang masalah karna datang tanpa undangan. Waduh, saya pikir undangan Face Book itu cukup tapi ternyata yaa... Berhasil melewati masalah itu saya langsung diantar Mas Panuju masuk ke gedung pertunjukan. Saya tidak tahu saya duduk di baris ke berapa kerna ruangan cukup gelap. Berhasil memperoleh tempat yang cukup nyaman saya mulai mengamati pertujukan. Komentar pertama yang saya dengar dari seorang kawan adalah...”aduh, tidak bawa kamera...bagus ni...lumayan buat masuk rubrik lifestyle.” Saya tak hirau karena harus segera merangkum jalannya pertunjukan untuk menjembatani keterlambatan tadi. Di panggung tampak Kunti tengah bersenandung untuk mengantar Karna anaknya, larung pada sebuah sungai. Dan sebelum masuk ruang saya coba melihat judul pentas, “Kunti: Pertemuan Dua Hati”.

Saya terkesima. Di latar belakang tampak aliran sungai yang dibuat dari plastik bergelombang mengalir dengan riap-riap kecil. Beberapa penari mengitari ibu para Pandawa, menarikan kemelut hati ibu yang harus merelakan kepergian anaknya. Cahaya dengan berbagai warna bergerak mengiringi langkah mereka. Balutan apik kostum para pemain tampak menonjol menghasilkan sebuah perpaduan indah. Lain itu, telinga saya benar-benar dimanjakan dengan musik garapan Dedek Wahyudi yang ’penuh gairah’. Nada-nada itu berhasil menggelitik ingatan sekaligus kerinduan saya pada sebuah pentas dan laku di sebuah dusun di kaki Merapi. Saya kembali duduk di tengah-tengah kitaran pohon dan orang-orang berkalung sarung dan kupluk penghangat kepala, meskipun tidak semua alat musik yang digunakan pada pertunjukan ini berasal dari Jawa. Sebuah Nusantara kecil berlompat-lompatan dari balik kepala saya...

Sambil bermain-main dengan imaji itu, tak lama muncul Gendari di atas pentas. Ibu 100 Kurawa ini tengah resah. Ia tak ingin tahta jatuh pada anak-anak Kunti. Destrastra yang cemas dengan obsesia Gendari hanya mengatakan kalau perempuan itu harus meniadakan iri hatinya. Tapi apa mau dikata, hasrat telah mengalahkan segala sesuatunya. Diri menjadi silau dengan keinginan - keinginan si sumber penderitaan.

Dalam pandangan sekilas saja saya segera tahu...pentas ini bukanlah pentas berbudget rendah. Semua ornamen, meski tidak selalu sempurna, selalu berusaha ditampilkan semaksimal mungkin. Tata panggung, lighting, kostum, terutama musik pengiring tentulah tidak dipersiapkan ala kadarnya. Semua didesain sedemikian rupa. Bagi saya pribadi ini adalah pertunjukan termewah yang saya saksikan setelah sekian waktu lamanya. Kilau ini membuat saya cepat memaklumi satu, dua hal kekurangan—teknis maupun non teknis—selama jalannya pertunjukan, yang secara keseluruhan dikomentari seorang kawan sebagai ’kegamangan pertemuan tradisi dan kontemporer’.

Di panggung cerita terus bergulir. Karna si anak yang hilang kemudian tumbuh bersama para Kurawa. Pada suatu kesempatan diceritakan pula bagaimana Durna yang menjadi guru bagi para Pandawa dan Kurawa menolak Karna. Penolakan itu membuka jalan bagi pertemuan Karna dengan Rama Bargawa alias Parasu di sebuah hutan, yang pada gilirannya membuat Karna menjadi murid pendeta gila itu. Parasu pulalah yang kemudian memberi tanda mengenai hubungan darah antara Kunti dan Karna. Pada adegan sebelumnya memang telah digambarkan keheranan Karna ketika Kunti justru membela dirinya ketika ia sempat berhadap-hadapan dan hampir saja bertarung dengan Arjuna. Tokoh Parasu yang dimainkan oleh Kodok (?) hadir dengan sangat eksentrik. Gaya bicara yang blak-blakan dan gestur yang cenderung seronok dalam arti seenaknya namun tetap berkepribadian benar-benar memikat hati pengunjung. Terutama ketika ia membawakan beberapa tembang Jawa ngoko, ingatan saya segera terlontar pada sountrack Before Sunset.

Perjalanan panjang yang berending pada pertemuan Karna dan Arjuna di ladang Kurusetra digambarkan melalui penggal-penggal adegan beralur maju-mundur. Adegan dimulai ketika Duryudana menolak menyerahkan Indraprasta pada Pandawa setelah mereka menyelesaikan hukuman selama 13 tahun. Adapun pertemuan Kunti dan Karna sebelum pertarungan dua bersaudara nampaknya menjadi lakon puncak yang menggambarkan bagaimana hati kedua sosok manusia yang saling mencintai sebagai seorang ibu dan anak ini. Karna, dengan segenap kenyataan sejarah tak terbantah, pada gilirannya menolak permintaan Kunti, ibunda tercintanya, untuk berpihak pada para Pandawa yang sebenarnya adalah saudara-saudaranya. Karna teguh menyelesaikan dharmanya dengan memilih jalan peperangan walau pada cerita sebelumnya, menurut Nanang Hape sang penulis naskah, Puntadewa sebenarnya telah menawarkan tahta Amarta pada Karna apabila Karna mau bergabung dengan para Pandawa.

Dalam pentas kali ini, Irwan Riyadi sang sutradara rupanya ingin mengingatkan bagaimana keadaan anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Keadaan itu jika tidak disiasati akan menghasilkan luka yang berpengaruh pada faktor lain yang lebih luas sifatnya. Sementara Nanang Hape membawa pesan jika kemuliaan Karna yang tidak berpihak pada tawaran material dan tetap setia melaksanakan dharmanya adalah suatu hal yang tidak terjadi pada dunia politik hari ini. Nanang rupanya ingin menyoroti perkara koalisi partai yang hangat dibicarakan belakangan waktu ini; yang hanya sibuk mengusung kepentingan masing-masing dan segalanya bermuara pada tampuk kekuasaan.

Pertemuan dua hati kemudian lebur dalam sebuah pertarungan antar saudara. Di atas panggung Kunti undur untuk tafakur. Dari balik tirai-kelambu ia menerima takdir di hadap muka, menyaksikan kedua anaknya menunaikan dharma. Pertarungan Karna dan Arjuna ditampilkan dengan menawan. Pertarungan dengan segenap hormat dan cinta dihaturkan pada ibunda. Ronce melati dari kedua belah keris yang digunakan keduanya jatuh menebar aroma di segenap penjuru ruang hingga akhirnya Pasopati Arjuna menjemput takdir Karna. Laki-laki yang sepanjang hidup tak merasakan belai ibunda, akhirnya tergeletak dipangkuan Kunti untuk pertama sekaligus kali terakhir dalam hayatnya. Sementara sosok Kunti yang dibawakan oleh Dewi Sulastri hadir menginspirasi. Dengan serta merta ia menarik saya pada momentum Kartini dan hari Bumi yang jatuh pada 21 dan 22 April ini. Saya tidak bicara mengenai ’emansipasi’ a la Kartini, tetapi mencoba menjenguknya sebagai Garba Hidup: relung yang dapat menanggung segala bentuk kehidupan yang datang padanya, setragis apapun ia - persis seperti Ibu (Bhumi) yang mengandung, membesarkan serta merawat anak-anaknya dan dengan ketabahan-keikhlasan luar biasa, rela berkorban untuk mereka.

Usai pertunjukan beberapa teman mengeluhkan hilangnya ‘sense’ ketika tuturan yang biasanya dibawakan dengan Jawa harus diwakili dengan bahasa Indonesia. Dialog dalam pentas ini memang dibawakan dengan bahasa Indonesia meski tidak seluruhnya karena pada beberapa kesempatan tembang-tembang Jawa tetap terdengar dilantunkan. Saya pribadi, yang tidak dibesarkan dengan kultur Jawa, sebenarnya merasa senang dengan kemudahan ini, lebih-lebih di samping panggung juga disediakan screen yang berisi sinopsis per-adegan yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris (walau harus diakui, terkadang janggal juga menyaksikan layar berukuran lumayan besar lantaran ia berhasil mencuri sudut pandang mata).

Bahasa Indonesia yang sengaja digunakan untuk menggaet pangsa pasar usia muda ini sendiri memang menjadi cukup mengganggu ketika ia lepas dengan konteks lainnya. Apa yang saya maksud dengan konteks pada ruang ini adalah ketidakmenyatuannya dengan panggung sebagai sebuah keseluruhan. Intonasi, pilihan kata pada beberapa titik terdengar sangat kaku dan menghasilkan jarak yang nyata. Seperti ada yang lepas antara apa yang dituturkan, karakter tokoh maupun situasi panggung yang ada. Jika saja situasi ini berhasil dijembatani, saya membayangkan, bukan tak mungkin permasalahan ’sense’ yang dibicarakan teman tadi bisa segera teratasi. Tapi salah seorang panitia kemudian menjelaskan jika permasalahannya tidaklah sesederhana itu. Bukan hal yang mudah misalkan menyiapkan seorang yang biasanya hanya menari kini sekaligus harus melakukan dialog. Olah vokal menjadi senjata wajib yang harus dipersiapkan secara matang dan hal itu membutuhkan waktu yang tidak pendek. Persiapan pentas ini sendiri terkendala waktu. Irwan mengakui jika masing-masing unsur terutama tafsir terhadap pola adegan belum sempat tergarap dengan matang. Masalah ini masih harus ditambah dengan kenyataan mendatangkan para pemain yang sebagian besar berasal dari Solo. Irwan harus mencari pola gerak dan menyusun kebutuhan iringan di Solo.

Pentas kali ini juga bertepatan dengan 10 tahun Gedung Pewayangan Kautaman dan pertunjukan yang mengkolaborasikan unsur drama, tari, wayang dan teater sengaja disuguhkan kepada mereka yang berusia di bawah 30 tahun. Walau saya tidak melihat daftar hadir, tampaknya sosialisasi bagi generasi 90-an ini tidak berjalan sesuai yang direncakan. Saya yakin, tidak sampai setengah dari total pengunjung yang memang berusia di bawah 23 tahun, atau bahkan jumlahnya bisa jauh lebih rendah dari pada itu. Sisanya, seorang teman wartawan mengatakan jika ikatan antar tiap elemen pada pertunjukan ini belum tergarap cukup apik. Ia berkomentar kecil, ”kalau mau kontemporer sekalian aja, jangan tanggung! Ini tadi terasa ada yang tertahan, nggak lepas! Sayangkan...”

Saya sendiri, seperti sudah saya ungkapkan di atas, mulai terbiasa dengan ’keadaan’ yang ada. Saya memilih jalan memaklumi kerna sejak beberapa tahun lalu—hingga hari ini—masih tetap menyaksikan permasalahan dan komentar yang sama di ruang-ruang pertunjukan macam ini. Ya, ini akan selalu menjadi catatan tersendiri bagi pertunjukan-pertunjukan tradisi yang dibalut dengan pendekatan metro atau urban lifestyle...tetapi kita tentu tak akan menghasilkan apa-apa juga bila tak ada upaya untuk terus melakukan uji coba. Jadi...terus berkreasi adalah satu-satunya jalan. Saya yakin akan selalu ada kesempatan selama sabar masih sanggup menandai dan menamai sebuah proses sebab bukankah tidak ada yang pernah benar-benar terlambat?!

CATATAN SENJAKALA KURUSETRA YANG TERTINGGAL



SANDYAKALA KURUSETRA
Sebuah Sanggit Soal Karma dan Dharma


Cin Hapsarin
catatan seorang penunjung




Malam itu tak ada hujan membasahi Jakarta, bahkan rintikpun enggan datang. Lalu pertanda apakah ini? Pertanda sang pawang hujan sukses membantu gelar Sandyakala Kurusetra yang dilangsungkan di Warung Apresiasi (Wapres), 12 Februari 2009 lalu.

Tidak semua mengetahui apa sebenarnya arti Sandyakala Kurusetra alias Senjakala Kurusetra itu, terlebih bagi mereka yang tidak dekat dengan kesenian Jawa yang banyak diselubungi aura magi mitologi Hindus itu. Kuru adalah padang pertempuran terakhir yang melibatkan hampir seluruh awak Kurawa dari Hastina maupun klub para ksatria pandawa dari Tanah Amarta. Semua paham jika akhirnya pihak Pandawa yang dimotori oleh kelima satrianyalah yang memenangkan pertempuran. Sayangnya, kisah ini tidak akan pernah ada artinya jika penyederhanaan itu dilakukan, dalam arti sekedar dijenguk dari endingnya. Kisah sensasional ini—untuk tak menyebutnya sebagai tragedi tragis nan romantis—justru menjadi ‘penuh’ apabila ia dapat dipahami secara holistik bahkan melalui celah-celah parsial yang kontekstual.

Malam itu gelar hari ke-12 Baratayudha tampil menjadi adegan pembuka. Keramaian sekaligus keremangan mencekam yang muncul dari setiap ritus perang di dunia dihadirkan ke atas layar lewat kelebat gunungan dan berbagai sosok wayang. Situasi ini juga terbangun dengan apik berkat sentuhan musik Tendri Yusuf, dkk yang berhasil mengkolaborasikan gamelan dan instrumen musik lain macam biola dan keyboard. Penonton pun mulai hanyut mengikuti irama yang disuguhkan dalang.

Alkisah, setelah gugurnya Abimayu dan Gatutkaca, Werkudara segera naik ke medan tempur dengan Gada Rujak pala. Ia berdiri di sana dengan rupa tiada galau, tegak lagi perkasa tiada dua. Di depannya, Dursasana, adiknda Raja Hastinapura Duryudana, berdiri dengan wajah setengah berpaling. Keteguhannya tengah dijajal oleh ingatannya sendiri. Berangsur, terlontarlah Dursasana ke gurat kaki yang pernah diukirnya.

Sebagai flash back, peristiwa pembunuhan Sarka-Tarka, jelata tukang satang perahu yang melindungi keberadaan para Pandawa; penghinaan terhadap Sri Krsna titisan Bathara dalam lakon Krsna Duta muncul dan diakhiri dengan peristiwa Pandawa Dadu yang tampil ke muka dalam bentuk aksi teatrikal. Pada peristiwa pertama sukma Tarko menyumpahi Dursasana jika kelak ia akan tewas persis seperti yang dialaminya. Namun Dursasana tidak sedikitpun gentar karena yakin akan terbebas dari karma jika ia bertobat.

Pada peristiwa dadu yang terkenal itu digambarkan bagaimana kekalahanYudistira hingga akhirnya ia harus merelakan istri lima Pandawa, Drupadi, jatuh ke tangan Kurawa. Dursasana yang larut dalam kemenangan, tak menunggu lama untuk segera mengejar Drupadi. Bukan sekedar dipermalukan tetapi direguk pulalah harga seorang Drupadi sebagai perempuan malam itu; sebuah peristiwa yang menyulut sumpah Drupadi untuk tidak akan gegelung sebelum ia berkeramas dengan darah Dursasana kelak. Santi Dwi Saputri, pemeran Drupadi enom yang terlihat cukup berjarak dengan tokoh yang ia bawakan—walau tetap berusaha tampil dengan gemulai—hadir menarikan babak tersebut. Adegan perang antara Werkudara dan Dursasana pun segera kembali naik ke atas layar, hingga akhirnya ditutup oleh kehadiran Drupadi yang bermandi darah Dursasana yang dibawakan sangat apik oleh Elly D Luthan.

Sandyakala Kurusetra merupakan pertunjukan wayang kulit pakeliran padat gaya Surakarta berdurasi kurang lebih dua jam yang dibawakan oleh ‘Dalang Pejabat’ Depkominfo lulusan STSI Solo, Bambang Asmoro (42). Sudah pasti jika pentas kali ini bukanlah pentas wayang klasik dengan bahasa Jawa mlipis alus ataupun pentas wayang klasik beralur linear. Ini adalah pentas wayang padat yang dibuat dengan konsep edutainment alias ringan-berisi, yang rasanya memang sengaja diciptakan sebagai tawaran yang chick bagi dunia kota yang cepat tetapi haus akan pertunjukan bernuansa reflektif ber-ikon Jawa.

Mengenai tema, kebetulan beberapa saat sebelum sang dalang pentas, ia sempat mengirimkan email kepada saya. Katanya begini, “tema itu...tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan.....Karma dan darma selalu berjalan berdampingan...dan saling menjaga satu sama lain untuk tetap berjalan sesuai porsinya. Konsep yin dan yang...hitam dan putih...akan selalu berdampingan....dan tunduk pada kuasa Hyang Tungal. Kita mau mengangkat keyakinan Dursasana dalam memandang Karma dan Darma......Dursasana keliru menafsirkan Karma. Ia beranggapan bahwa..segala sesuatu dosa yang ia perbuat akan mendapatkan pengampunan dikala menjelang ajal ia bertobat. Ternyata salah bahkan menjelang ajal saat terkena kuku pancanaka Werkudara, ia tidak bisa mengucapkan kalimat suci, mulutnya terkunci rapat, bahkan yang keluar umpatan...sumpah serapah....dan harapan terang untuk mendapatkan swarga langgeng ternyata...hanya..gelap...dan gelap.....Karma tetap berjalan sebagaimana mestinya....tanpa bisa di siasati oleh siapapun....(koruptor dosanya tidak akan terampuni hanya karena ia bertobat).....”

Penjelasan itu menarik minat saya. Sederhana saja, apakah kata-kata kotor yang keluar dari mulut Dursasana tidak dapat dikatakan sebagai pertobatannya? Mungkin secara sekilas semua akan sependapat dan menyatakan pertanyaan saya sebagai bodoh. Tapi saya, yang sama awamnya dengan banyak orang ketika bicara wayang, melihat kemungkinan lain. Pertama, tidakkah hanya Sang Hyang saja yang dapat mengukur batas pertobatan itu dan rasanya hal ini tidak perlu kita komentari lebih. Pertobatan identik dengan perubahan positif, baik itu ditataran ucapan, pikiran maupun tindakan dan di ruang itu hanya waktulah yang dapat menjadi saksi. Sayangnya, dalam kasus ini Dursasana ada pada detik-detik terakhir yang menyiratkan ketakberpihakan ruang dan waktu padanya. Kitab hanya mencatat ucap maki bagi kisah akhir hayatnya. Namun demikian bukankan terkadang pada satu waktu manusia mencapai akumulasi klimaks dari satuan hidup yang telah membentuknya dan hanya ‘pisuhan kecil’ yang terdengar dari rongga mulutnya? Sebuah pisuhan yang akan segera diikuti oleh senyum pias atau tawa datar karena ia telah tiba pada satu padang luas dimana (ilmu) pengetahuan yang dimilikinya selama ini hanyalah salah satu sisi dari sebuah keping, sementara satu sisi lainnya barulah ia pahami ketika semua telah berjalan? (lalu pertanyaan berikut yang bisa diajukan adalah: apakah ada kesadaran yang datang tidak dengan terlambat?)

Yang pasti, entah mengapa, malam itu saya mau menempatkan Dursana pada ruang itu. Berbeda dengan Werkudara yang berkesempatan mencapai puncak pertemuan diri dengan diri pada lakon Air Perwitasari Dewa Ruci dengan cara elegan, Dursasana menemuinya untuk kali pertama justru dalam kali terakhirnya menatap dunia. Sementara karmanya sendiri terbayar sudah ketika ia harus tewas dengan cara yang mengenaskan. Karma dan pertobatan adalah dua hal yang berbeda meski mereka bersaudara. Sebagai catatan saja, saya pikir komentar ini bukan sebuah usaha untuk ‘mempositifkan yang negatif’ atau semacam mencari happy end yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi sesama. Perlu diingat pula jika ini bukan sebuah upaya untuk membenarkan makian sebagai jalan pertobatan. Saya pribadi hanya memiliki kepentingan untuk melihat bagaimanakah sebuah jalan pertobatan bisa dicapai, dengan demikian konsepsi karma dan dharma yang menjadi koridor yang memayungi bisa dibedah secara lebih ‘manusiawi’, dalam arti tidak mengekor dalam ruang hitam-putih yang keras.

Hal lain, keluar dari konteks pertunjukan ini walau tetap terkait adalah mengenai keberadaan tokoh Drupadi. Sudah sejak dulu saya tertanya mengenai perempuan para-pandawa ini. Sekilas tentu kita pernah mendengar jika kedudukan para-pandawa selalu dianalogikan sebagai panca indera dalam konsepsi wadag manusia kita. Lalu jika demikian, bagaimana harus kita maknai dendam dan sumpah Drupadi ketika berhadap-hadapan dengan Dursasana tadi? Ibu, sebagai seorang Ibu yang menjadi rahim hidup pantaskah ia? Atau justru karena sebagai Ibu yang terampas martabatnya Drupadi justru memiliki hak dan kewajiban (yang lebih dari) untuk melaksanakan sumpahnya demi mengembalikan ‘fitrah keperempuanannya? Sesungguhnya, saya bahkan sangat takut pun untuk sekedar membayangkan jikalau dendam itu benar menahun melekat pada kepalnya. Saya tidak berhasil menentramkan diri dan melihat alasan yang cukup masuk akal yang dapat membenarkan tindakan tersebut.

Seorang teman saya, yang juga dalang, segera menegur saya untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan, lebih-lebih jika hal itu dibuat berdasar sudut pandang (‘perempuan’) hari ini. Demikian pula ketika seorang kawan lain menjelaskan bahwa sebenarnya lakon Drupadi, pada naskah klasiknya, tidak menempatkan ia pada kedudukan major. Entah pada kurun kapan, lakon tersebut naik kelas dan semua ini akan berkelindan dengan permasalahan sanggit. Sementara jika harus menilik permasalahan sanggit, perkara akan segera bergerak bebas (tanpa sabuk pengaman) karena hingga hari ini belum ada etik khusus untuk mengatur hal tersebut dan saya yakin seyakin-yakinnya, jika wacana ini ditelurkan pasti akan segera memancing pro-kontra. Pihak-pihak yang mengagungkan kebebasan berkreasi—sebagai pendulum dasar proses mencipta—akan segera berhadapan dengan kelompok yang ‘membutuhkan aturan main yang lebih jelas’ sebagai tameng dari keliaran, alih-alih kebebasan mencipta.

Perkara sanggit ini tentulah sangat menarik untuk diperbincangkan. Bahkan kawan tersebut melanjutkan ujarannya, terutama mengenai ketidaknyamanannya dengan lakon reflektif yang dikenakan Dursasana dalam pertunjukan ini. Baginya, tokoh Dursasana tidak dalam kapasitasnya untuk berada dalam ‘kondisi’ tersebut. Kalau saya tidak salah, ia menyebutnya agak menyimpang. Menurutnya, setiap tokoh wayang memiliki kekhasan fungsi masing-masing. Ketetapan ini meski tidak dalam kapastitas untuk tidak diganggu-gugat tetapi sepatutnya tetap dilekatkan pada pakemnya. Itu artinya, jangan memaksakan satu karakter yang tidak menjadi karkater bawaan tokoh yang dimainkan.

Kembali pada masalah Drupadi, baiklah, saya pikir mereka semua benar, sangat benar malah...masalahnya kemudian, sejauh ini saya tidak—atau belum menemukan—penjelasan berlatarbelakang konteks kala itu. Jika demikian kita akan segera memasuki aspek sosiologis dan itu akan sangat menarik, paling tidak bagi saya. Dengan penjelasan itu akan terpapar bagaimana hidup perempuan dan pertautannya dengan lingkungan. Saya tidak tahu apakah hal ini cukup memungkinkan tapi kajian tersebut tentu akan memperkaya gagasan maupun sudut pandang kita dalam memahami masalah.

Proses pembuatan naskah dan penggarapan pertunjukan ini sendiri menghabiskan waktu sekitar 1,5 bulan saja; sebuah waktu yang tak bisa disebut panjang dan melibatkan kawan-kawan di Komunitas Suluk Linglung seperti Nanang Hape, Prapto Panuju, Tendri, Jangrono Sutrisno, dan Dirman. Lalu ada nama-nama yang tak asing seperti Kiki Dunung, Yanusa Nugraha, Irwan Riyadi, dll. Seperti halnya pentas lain, kendala terutama yang mereka hadapi—selain perkara klasik yang tak perlu disebut yakni ketiadaan sponsor—adalah menanak naskah agar dapat mudah dimamah-renyah. Bongkar pasang adalah situasi tak terelakkan dan terkadang jadi sangat menyulitkan mengingat tiap personel memiliki kesibukan masing-masing. Syukurlah, semangat untuk ‘nguri-nguri tradisi dengan logat kota’ berhasil menyatukan mereka.

Nah, malam itu suasana remang dengan cahaya yang cenderung under di sana-sini tampak membungkus Wapres...walau demikian pengunjung tetap terlihat padat bahkan hingga akhir pertunjukkan. Beberapa kawan yang sebenarnya dibekali kemampuan sangat minim untuk mengikuti dialog dalam Bahasa Jawa pun tetap tekun menyimak jalannya pertunjukan hingga akhir. Begitupun beberapa teman lain yang, kalau boleh dikata, tidak memiliki kedekatan dengan ikon Jawa ini, tetap duduk santai menikmati pertunjukan sambil sesekali berkomentar out of the box alias berkelakar saja menyaksikan beberapa adegan yang sebenarnya, entah mengundang tawa, entah tidak.

“Ya, bolehlah buat Jakarta yang kayak ini,” ujar Agung, seorang anak muda dengan logat Betawi kental tapi sempat 10 tahun tinggal di Jogja. “Tapi kalo udah pernah nonton wayang di Jogja sih pasti berasa ada yang kurang kalo lihat yang begini...tapi yaaa bagus juga sih misalkan bisa sering-sering dibikin...biar Orang-orang Jakarta berkurang gilanya, tug!”, sambungnya bersemangat diikuti tawa yang lumayan menggema. Beberapa orang disekitar Agung tampak melirik memberi tanda kalau suaranya sudah terlalu keras meski mulut mereka tak terbuka barang satu atau dua centipun.

Ya, di Jakarta ini segala sesuatunya memang berkelebat cepat termasuk kelebat dari satu kegilaan ke kegilaan lain. Ah, lalalala...perbincangan belum usai tapi malam mulai menghampiri. Sepenggal resah pun menggelayut menemani langkah kaki untuk segera beringsut menuju Gudeg Panglima Polim... Selamat malam Jakarta, Selamat malam Jawa... Rupanya mereka masih saja asik dalam buai lelap mimpi masing-masing...entah sampai kapan...

Selasa, 14 April 2009

PRESS RELEASE



WAYANG UNTUK KAUM MUDA

Soedarko Prawiroyudo dan kawan-kawan menawarkan kepada anda, sebuah pergelaran Drama Wayang khusus bagi anda yang belum berumur kurang dari 23 tahun.

“Ini adalah Drama Wayang untuk anak berumur kurang dari 23 tahun.” Tegasnya.

Drama Wayang adalah sebuah pertunjukan teatrikal yang memadukan beberapa unsur, drama, tari, wayang dan teater. Mengenai tata lampu, seting panggung, koreografi tari, penaskahan, garap iringan dan penambahan siluet gerak wayang kulit, semuanya digarap lebih rasionil dan semuanya semata-mata untuk generasi muda.

“Semua unsur pertunjukan yang ada hanyalah perabot, dan semuanya itu digarap lebih rasionil dan tentunya ini diperuntukan bagi generasi muda.”katanya. “Oleh karena itu Drama Wayang ini memakai bahasa Indonesia.”tandasnya”.

Oleh karena itu pada pementasan kali ini diundang puluhan generasi muda sekedar untuk membuktikan bahwa, pergelaran ini memang untuk mereka. Kalau memang harus ada yang diperbaiki Sudarko dan kawan-kawan akan siap memperbaikinya.

Sementara itu Irwan Riyadi sutradara pagelaran ini mengatakan, lakon yang akan dipentaskan pada tanggal 19 April 2008 jam 15.30 WIB di Gedung Pewayangan Kautaman TMII berjudul ”PERTEMUAN DUA HATI” yang diambil dari Epos Mahabarata. Lakon ini akan mengetengahkan nilai pertautan erat antara ibu dan anak antara Karna dan Kunti. Karna selalu haus akan kasih sayang Ibu yang memang terpisah sejak lahir. Karna sangat menghendaki untuk bisa berada dipelukan dan pangkauan ibu dan itu tidak kesampaian hingga ajal menemput. Tragisnya berada di pangkuan Ibu setelah terkena panah Pasopati Arjuna saudara seibu adik kesayangannya.

”Anak-anak prustasi seperti Karna yang gagal memperoleh kasih sayang ibu semasa kanak-kanak hingga dewasa, menorehkan luka yang dalam dihatinya. Meski demikian Karna tidak pernah mencela Ibunya di berbagai kesempatan dan perhelatan agung. Karna bercita-cita ingin kumpul dengan para Pandhawa dan Ibu tercintanya, tetapi hal itu tak akan kesampaian bila ia masih berada di dunia, karena ia harus berada di pihak Korawa. Pertemuan langgeng hanya bisa ditempuh di alam kelanggengan, dengan jalan kematian di medan kurusetra. Karna berharap setelah kematiannya kelak akan dapat berkumpul dengan Kunti dan para Pandawa lainnya.”jelasnya”.

Masih menurut Irwan, beberapa kendala yang dihadapi dalam setiap pementasan adalah waktu yang terlalu pendek untuk mempelajari dan menghafal naskah, juga tafsir terhadap pola adeganya sendiri. Sementara sejumlah penari dan pemusik yang didatangkan dari Solo juga merupakan kendala tersendiri. Irwan harus mencari pola gerak dan menyusun kebutuhan iringan di solo. Iringannya sendiri dipercayakan kepada Komponis Musik Gamelan Terkenal Dedek Wahyudi. Selain itu kemampuan SDM utuk melavalkan dialog dengan logat Indonesia juga menjadi kendala tersendiri.

Nanang Hape penulis Naskah ”PERTEMUAN DUA HATI” mengatakan bahwa ceritera ini ingin mengungkapkan nilai-nilai lama yang bersifat universal dan berlaku sepanjang jaman, namun di era sekarang nilai itu sudah luntur. Ia mencontohkan pengorbanan seorang Karna ketika berkecamuk hatinya karena disuatu sisi ia mencintai para Pandhawa dan Ibunya Kunti, tetapi Karna menjalankan darmanya untuk tetap berpihak kepada Korawa. Hal itu ditandai dengan ia rela berperang dan mati ditangan adiknya sendiri.

Menurut Nanang, pada ceitera sebelumnya sebenarnya Puntadewa telah merelakan tahta Amarta kepada Karna, dengan syarat jika Karna mau bergabung dengan Pandhawa, tetapi Karna menolak. Ia memilih jalanya sendiri, untuk tetap menjalankan darmanya, bukan mementingkan kebahagiaan sesaat (materi). Hal demikian tidak ada dijaman sekarang. Ia mencontohkan koalisi partai akan berjalan mulus seiring kepentingannya saling menguntungkan dan akan bubar dengan sendirinya jika koalisi itu sudah selesai. Tetapi nilai lama dalam kisah Karna tersebut tidak demikian. Ia memilih jalan peperangan, tetapi dalam hatinya ia tetap cinta kepada para pandawa dan bakti kepada Kunti.

Drama Wayang yang digarap sedemikian rupa ini diharapkan menjadi pantas dan bisa dinikmati oleh generasi muda masa kini. Dengan penanaman nilai-nilai kearifan lokal para generasi muda diharapkan juga akan menjadi benteng yang kuat terhadap terpaan budaya global yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia.
Sekedar untuk diketahui

Selain itu Drama Wayang juga didukung oleh seniman-seniwati profesional, penari, pengrawit, dan Dalang seperti; Suryandoro (koordinator pergelaran), Prapto Panuju (Pengarah) Dewi Sulastri, Ali Marsudi, Agus Prasetyo, Irawan RM (Penari), Sambowo Agus Heriyanto (pengrawit), Bambang Asmoro, Kiki Dunung (Dalang/Peraga Wayang) serta para alumni STSI Surakarta, ISI Surakarta dan ISI Yogyakarta (B3).