Selasa, 23 Desember 2008

बेरिता फोटो

कटुआ सीवंगी सोलिचिन दान सेक्जें अप तुपुक सुत्रिसना दलम पेम्बुकान फ्वी दी योग्यकर्ता

FWI

पेम्बुकान फ्वी (फेस्टिवल व्यंग इंडोनेशिया के २, दिबुका ओलेह श्री सुलतान हमेंग्कू बवाना क्ष दी पगेलारण केरतों योग्यकर्ता, पुकुल १०.००ई

Mimpi-mimpi Abdul Hakim

Lelaki di hadapan saya ini tersenyum ramah। Berbaju batik sambil mengenakan topi, siang itu Abdul Hakim membagi cerita, mimpi dan harapannya tentang pengembangan wayang di negeri asalnya, Brunei Darussalam.

H। Abdul Hakim bin H. Mohd. Yassin, utusan dari Brunei Darussalam, dalam Sidang II ASEAN Puppetry Association – APA di Yogyakarta. Dia seorang pensiunan guru, yang telah 14 tahun mengabdikan diri dalam dunia pendidikan Bahasa dan Pustaka Melayu di Brunei Darussalam. Dia jatuh cinta pada pementasan wayang, sejak sekitar 1970 ketika dia masih menjalani masa belajarnya di Malaya University, Malaysia, menekuni kajian Melayu. Dia sempat menyaksikan pementasan wayang kulit di negara bagian Kelantan, yang kelak hingga bertahun-tahun kemudian akan menjadi mimpi dia hari ini.


Saya melihat wayang dapat menjadi penyampai pesan, cerita dan pelajaran mengenai banyak hal,misalkan mengenai sejarah negeri atau persoalan-persoalan lain yang mengemuka di masyarakat, demikian Abdul Hakim menuturkan. Pertunjukan boneka tangan untuk anak-anak telah cukup dikenal di Brunei, untuk menyampaikan cerita-cerita sejarah kepada anak-anak dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Sebagaimana halnya pertunjukan boneka, teater juga bukan hal yang asing untuk masyarakat Brunei. Sebagai seorang yang berkonsentrasi dalam bidang bahasa, sastra dan pustaka, dia juga banyak menggeluti dunia teater, yang dibandingkannya dengan wayang orang untuk di Indonesia. Sejak pensiun tahun 2004, Abdul Hakim memberikan lebih banyak perhatian dalam isu-isu pengembangan wayang।Keikutsertaannya sebagai anggota pengakselerasi APA merupakan salah satu langkah memperluas kesempatan mewujudkan mimpi lamanya: wayang dapat dihidupkan di Brunei.


Hanya saja, Abdul Hakim memilik sebuah catatan। Wayang di Brunei mungkin tidak akan menceritakan kisah-kisah Mahabharata atau Ramayana, yang lahir dari kebudayaan Hindu, sementara Brunei tentu saja memiliki latar belakang budaya Islam yang kuat. Wayang Menak, yang merupakan wayang kulit dengan kisah-kisah berkonteks budaya Islam dan cukup berkembang di Indonesia, saat ini sangat menarik minatnya. Dia membayangkan bahwa suatu hari sekelompok pementas Wayang Menak dari Indonesia dapat melakukan pagelaran di negerinya.


Impiannya ini disambut baik oleh para anggota APA। SENAWANGI bersedia memfasilitasi proses pementasan wayang Menak di Brunei. Harapan Abdul Hakim sendiri pementasan ini dapat dilakukan pada bulan Juli - Agustus 2009 yang akan bertepatan dengan ulang tahun Sultan Brunei yang ke-63.


Lebih jauh, Abdul Hakim berharap bahwa dengan semakin diterimanya wayang di publik Brunei, ke depan ingin dilihatnya dalang-dalang handal Indonesia diundang untuk membagi ilmu pedalangan dan pewayangan kepada para peminat wayang di Brunei. Atau, pula sebaliknya, dia memimpikan pemuda-pemuda Brunei akan berlatih ke Indonesia. Bagi Abdul Hakim, Indonesia adalah salah satu tempat terbaik untuk belajar mendalam tentang pewayangan.(Atik)


APA dan wayang di Asia: menjalin benang-benang tumpuan

Maka, bayangkan wayang tumbuh selayaknya laba-laba. Ingat pula pada persemayamannya yang bertumpu pada jejaring halus, yang mewadahi hidupnya. Pribadi-pribadi, kelompok, dan para ahli pewayangan di wilayah ASEAN menyadari adanya benang-benang halus kepedulian mereka terhadap dunia pewayangan, yang seolah mengaitkan diri mereka satu sama lain। Rasa peduli yang berakar dari kerinduan pada wayang, yang dipandangnya perlahan terseok di tengah arus modernisasi.

Serupa para arsitek laba-laba, para perindu wayang ini, yang kemudian menjadi para penggagas Asean Puppetry Association-APA, melihat pentingnya jejaring di Asia guna menangkup hidup pewayangan dunia yang lestari। Latar budaya yang majemuk, baik di dalam negeri maupun antar negara anggota, tidak kemudian menguras perlahan rasa kepedulian mereka untuk membangunkan sebuah tempat bernaung bagi kehidupan pewayangan.


APA memungut satu demi satu benang-benang kepedulian negara-negara ASEAN, menganyamnya, dan wayang akan menumbuhkan diri di atasnya. Oleh karenanya, semenjak batu pertamanya yang diletakkan pada tanggal 1 Desember 2006, dalam upacara resmi yang dipimpin H.E. Jusuf Kalla, APA telah menunjukkan langkah besar kemajuan dalam mendukung pengembangan pewayangan dengan segera merampungkan pondasi utama bangunan jejaring mereka. Di Palembang, Sumatera Selatan, 5-7 September 2007, dalam Sidang pertama, APA menyelesaikan agenda-agenda pengorganisasiannya,termasuk di dalamnya menyelesaikan AD/ART serta merumuskan rencana kegiatan-kegiatan APA. Dengan keterbatasan yang mereka miliki, APA tetap menjalankan rencana kerja yang telah disepakati di Sidang Palembang. Kali ini, Desember 2008, di DI Yogyakarta, para anggota APA kembali berkumpul dalam Sidang APA ke-2. Para peserta dari Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philipina, Singapura, Thailand dan Vietnam।


APA juga mengundang para rekan mereka dari Cina, India dan Jepang untuk bergabung dalam hajatan tahunan ini. Pelibatan ini diharapkan dapat memerluas rentang jalinan kerjasama yang telah dirintis di wilayah Asia Tenggara. Dalam Sidang ke-2 ini APA meninjau lagi capaian-capaian mereka sejak pertemuan pertama di Palembang; di antaranya melakukan penguatan Sekretariat APA, penggalangan dana, penerbitan buku pewayangan ASEAN serta pertukaran pementasan dan ahli antara kelompok anggota।


Di kesempatan lain di pertemuan, Brunei Darussalam yang mengakui tidak memiliki tradisi pewayangan, menyatakan ketertarikannya dalam mengembangkan wayang bermuatan Islam di negerinya. Kemungkinan yang tengah dijajaki dalam menindaklanjuti ketertarikan Brunei Darussalam adalah pementasan tandang Wayang Menak dari Indonesia।


Dalam pertemuan ini, Sekjen SENA WANGI, Tupuk Sutrisno menggarisbawahi beberapa hal terkait pembinaan dan pengembangan dunia pewayangan. Pertama,beliau menyampaikan perlunya perhatian Pemerintah dalam mendukung pelestarian tradisi wayang ini. Hal kedua adalah peningkatan kualitas sanggar, sebagai tempat berkumpulnya para peminat,praktisi, pemeduli wayang.Di samping itu, membangun sanggar di setiap negara anggota APA dinilai dapat menjembatani setiap pertumbuhan dan geliat pengembangan wayang। Wayang juga memiliki potensi besar dalam mendukung industri budaya, selain juga sebagai penunjang pariwisata.


Berkenaan dengan rendahnya keterikatan kaum muda dengan dunia pewayangan, disodorkan beberapa upaya, misal dengan penerjemahan bahasa dalam dialog wayang sehingga lebih mudah dipahami penontonnya, serta menunjang pengajaran Bahasa Daerah di sekolah-sekolah. Atau,dapat pula ini dilakukan dengan memadatkan masa pementasan, misal dari pementasan semalam suntuk menjadi pementasan hingga tengah malam saja, menjadi pakeliran ringkas bahkan menjadi pakeliran padat. (Atek).

WAYANG


Tontonan, Tatanan dan Tuntunan yang Tergerus Jaman

Hari ini pertemuan lanjutan dari Asean Puppetry Asossiation (APA) ke-2 dan Asian Puppetry Gathering (APG) kembali digelar di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta. Hadir seluruh perwakilannegara Asean dan 3 negara Asia, yakni India, Cina dan Jepang. Berikut cuplikan wawancara dengan Bapak Tupuk Sutrisno, Sekjen Senawangi, yang pada pertemuan ini menjadi salah satu pimpinan sidang sekaligus wakil देलेगासी Indonesia.

T: Apa perkembangan menarik yang menjadi rekomendasi pada pertemuan APA dan APG kali ini?

J: Sebenarnya pertemuan Asean Puppetry Asossiation (APA) ke-2 sudah selesai kemarin. Hasilnya sangat menggembirakan karena menindaklanjuti plann of action yang sebelumnya sudah disetujui pada September 2007 lalu di Palembang, pada pertemuan kali ini kita sepakat untuk menghasilkan kerja sama yang lebih spesifik atau menjurus. Hasil dari pertemuan itu adalah, pertama, persetujuan untuk membuat pembentukan sanggar wayang atau traditional learning institution of puppetry di tiap negara Asean. Selain itu kita juga bersepakat untuk mengadakan tukar menukar informasi untuk mendukung terbentuknya sanggar-sanggar ini. Kalau pertanyaannya kenapa sanggar, ya karena sanggar kami nilai lebih sederhana, tidak membutuhkan banyak biaya dan ‘hanya’ membutuhkan orang-orang yang benar-benar mencintai wayang. Manfaat dari sanggar ini sendiri sangat banyak. Misalkan saja, dalam sanggar orang akan diberi pendidikan mengenai falsafah dari wayang..tentu untuk tujuan baik, untuk edukasi, informasi ataupun lainnya. Yang kedua yakni untuk meningkatkan kualitas dalang. Di sini diharapakan kualitas dalang akan makin terasah, misalkan saja kemampuan sanggit, sabet dan lainnya. Nah, yang ketiga adalah memperbanyak dalang. Jadi inti sari kesepakatan itu adalah, yang pertama soal filosofi, yang kedua mengenai kualitas dan yang ketiga meningkatnya jumlah dalang।


Para delegasi itu setuju untuk membuat sanggar dengan menggunakan sanggar Indonesia sebagai model percontohan. Hal ini jadi menarik karena kemarin kita sendiri sempat menghadirkan salah seorang pemilik sanggar dan kemudian dia bercerita kalau pembentukan sanggar itu sama sekali tidak memerlukan biaya. Artinya, hanya yang senang saja yang akan datang untuk belajar. Lalu, untuk anggota yang punya uang mereka bisa kasih iuran tetapi hal ini tidak mengikat. Teman-teman yang tidak punya bisa bebas sementara teman-teman lain yang benar-benar tidak memiliki biaya justru bisa kita bantu, misalkan saja dengan memberi honor sebagai ganti uang transport. Jadi sanggar itu memang benar-benar sederhana dan hasilnya juga istimewa. Ini bagian dari policy Senawangi dan APA।


Mengenai dalang-dalang itu sendiri, kita juga turut memikirkan। Misalkan saja, setelah kualitas dalang-dalang itu menjadi baik lalu mau apa dan kemana mereka? Satu keputusan penting yang kami hasilkan untuk menyelesaikan masalah ini adalah membuat kerjasama untuk mengadakan pertukaran pertunjukan atau pagelaran, selain pertukaran informasi untuk menambah pengetahuan dan bagi dalang-dalang itu sendiri, selain mereka memperoleh kesempatan untuk pengembangan kreasi, kita juga berharap kalau mereka bisa memperoleh penghidupan yang layak dari sini. Pada pokoknya adalah, kita berharap bahwa kegiatan wayang Asean ini akan menjadi luar biasa.


T: Mengenai APG?


J: Untuk memperluas kegiatan di tingkat Asean hari ini ada pertemuan 10 negara Asean plus Asia 3, yakni India, Cina, Jepang. Perwakilan dari tiga delegasi ini menyampaikan perkembangan wayang di negara masing-masing. Tapi selain itu, ternyata mereka juga menginginkan adanya suatu ikatan kerjasama, karena bagaimanapun yang namanya kerjasama pasti akan bermanfaat. Nah, tampaknya hari ini, mereka semua sudah menyetujui adanya jalinan kerjasama Asean + Asia 3। Kerjasama ini nanti akan ditandatangani oleh Bapak Solichin selaku Ketua Presidium APA dengan perwakilan 3 negara Asia.


T: Sejauh apa atau bagaimana dengan peran atau keterlibatan pemerintah RI dalam hal ini?


J: Setiap kegiatan Senawangi dan Pepadi, syukullah selalu mendapat bantuan baik dari sponsor maupun donatur. Pemerintah sendiri, melalui kementrian budpar, kan kegiatan yang mereka ditangani cukup banyak, jadi ya…yang kami inginkan adalah bukan hanya perhatian saja melainkan juga suport untuk memenuhi kebutuhan organisasi yang dilakukan untuk melestarikan, mengembangkan dan meningkatkan potensi wayang ini. Ya, sudah ada bantuan tetapi belum sebesar yang dibutuhkan organisasi।


T: Seberapa banyak?


J: Cukup tapi harus ditambah dengan sponsor। Kita harap perhatian kepada budaya tradisi seperti wayang itu bisa sebanding dengan perhatian pemerintah kepada film atau musik yang bergelimang dengan uang. Kalau tradisi memang tidak banyak memberi hasil, oleh karena itu bantuan pemerintah sangat dibutuhkan supaya SDM wayang dan semua yang terlibat dalam kerja ini bisa berkreasi, tetapi juga bisa memperoleh penghasilan.


T: Adakah upaya khusus yang dilakukan untuk mendorong kerja budaya ini sampai ditingkat kebijakan pemerintah, misalkan mendorong terbentuknya satu perundang-undangan atau aturan main yang ‘lebih jelas’ yang mewajibkan setiap media komersil untuk memberi space kepada tradisi?


J: Sejauh ini TV swasta itu selalu komersil. Nah, kebetulan yang namanya pengembangan tradisi budaya itu kan sifatnya non komersial…yang kita inginkan di sini sebenarnya bukan bantuan melainkan bagaimana membuat balance antara kegiatan yang komersil dan non komersil ini। Sebab bagaimanapun keduanya cukup penting. Artinya di sini, kerja-kerja non komersil macam pengembangan tradisi itukan untuk membantu pendidikan moral, jadi besar manfaatnya untuk meningkatkan budi pekerti bangsa sehingga masalah-masalah yang kita hadapi hari ini macam korupsi, kolusi dan lainnya itu tidak terjadi, dan wayang bisa melakukan ini! Apalagi wayang juga sudah mendapat penghargaan dari Unesco…


Ah, ya…misalkan saja soal Cempala itu…Bayangkan saja bagaimana TVRI yang televisi nasional itu, yang salah satu tugasnya adalah memberi bantuan informasi dan tidak komersil itu justru menarik biaya untuk program pengembangan budaya. TVRI kan harusnya beda dengan TV swasta, tapi dia minta 20 juta untuk acara itu…mungkin tidak terlalu mahal, tapi kalau buat wayang? 20 juta buat Senawangi itu berat! Sayang sebenarnya karena acaranya sangat menarik sebenarnya… Istimewa! Ya, komersil sih boleh, tapi yambok tetap ada ruang untuk hal-hal yang non komersil itu lah


T: Selain masalah ketidakberpihakan televisi-televisi swasta kepada hal yang bersifat non profit, ada pendapat yang mengatakan, kalau pada kasus ini, masyarakat tradisi seharusnya juga mampu mengolah ’kepiawaiannya’ dalam melakukan metamorfosa, paling tidak ketika dia berhadap-hadapan dengan konteks sosial yang selalu bergerak dan berubah ini…


J: Usaha masyarakat tradisi dan wayang, saya pikir sudah sangat bagus. Sekarang sudah ada penggarapan wayang yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat…misalkan saja, sejam cukup, lalu bahasa dibuat terjemahan. Sebab saya harus tekankan, bahwa dalam budaya wayang, bahasa itu penting! Tidak bisa disingkirkan…oleh karena itu wayang memang harus menggunakan bahasa daerah masing-masing…kalau Wayang Golek, ya, bahasa Sunda, lalu Wayang Jawa ya bahasa Jawa. Ini penting sekali sebab banyak local wisdom yang adanya dalam bahasa dan itu tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia। Salah satu cara untuk menyiasati masalah itu misalkan dibuat terjemahan atau walau bahasanya tetap bahasa Jawa, Bali, Sunda, tetapi dibuat penjelasan dalam bentuk lain. Misalkan saja kalau Entus itu menggunakan burung untuk menterjemahkan bahasa yang sangat klasik, sementara orang-orang di Bali pakai Punakawan. Jadi sebenarnya sudah banyak hal yang diusahakan untuk meyiasati seluruh problem ini, tetapi sekali lagi menurut saya, memang belum ada bantuan yang cukup dari orang-orang yang harusnya membantu.


Untuk industri kebudayaan sendiri, saya selaku Sekjen Senawangi, sudah menyampaikan berulang kali dihadapan Rakornas Budpar…tolong kami, kami sudah buat satu konsep agar wayang ini bisa menjadi industri budaya. Contohnya di Jakarta…di sana kami buat teater wayang nasional dalam bentuk wayang orang tapi ceritanya sendiri sudah bagus dan tampilannya sangat modern. Menurut kami dari Senowangi, ini dapat menjadi embrio untuk membuat teater wayang nasional. Cita-cita saya, ini bisa jadi Broadway-nya Indonesia. Saking bagus ceritanya jadi satu cerita itu bisa digunakan sampai 10 tahun misalkan dan bisa dimainkan setiap hari..yang kelas kecil, ya bisa ditarik 10 dollar lah setiap pementasan. Yang berhasil itu Vietnam…wayang airnya main terus sehari sampai enam kali dan selalu penuh. Tiap orang bayar 20 dollar kan lumayan… Nah, usaha-usaha kami ini arahnya kesana. Andai wayang punya dana abadi ummat seperti di Depag itu, aduh…senang sekali saya…


Perbincangan ini ditutup dengan gelak tawa, sambil berdiri Pak Tupuk masih sempat bicara, ”intinya kami sudah usaha benar untuk memajukan tradisi ini”. Ya, masih terngiang kata Pak Tupuk tadi kalau wayang mendapatkan penghargaan dari Unesco karena empat hal. Pertama, karena bentuk performentnya yang hebat (kulit yang dapat bergerak menjadi mirip manusia); kedua, lantara ada gamelan yang orkestra; ketiga, ada sinden—dan gamelan di sini bukan saja mengiringi pertunjukan melainkan penyanyi juga—dan terakhir, yang paling penting adalah hal yang tidak nampak, yakni nilai-nilai moral yang terdapat dalam setiap lakon wayang. Wayang memang bukan sekedar tontonan, tapi ia juga berisi tatanan dan tuntunan tapi sayangnya, sebagaimana laiknya problem tradisi lainnya, ia terseok didera jaman… Akankah tradisi ini ’bertahan’? Kepedulian kitalah jawabannya.

Narasoma – Salya: sisa catatan dari Festival Wayang

Siapa mampu menebak kecamuk hati Narasoma ketika sang mertua memohon kematian padanya dan dengan demikian Narasoma akan mewarisi kesaktian sang Begawan?

Begawan Bagaspati adalah sosok orang tua dengan kasih sayang yang luar biasa dalam terhadap putrinya. Tak sanggup dilihatnya kegundahan sekaligus keteguhan hati Pujawati yang jatuh cinta pada Narasoma, satria muda Mandaraka, seorang ksatria muda pengelana, rupawan berkelana, dan kesaktian sukit tertandingi.Bagi Bagaspati,apapun rela ditempuhnya demi mempersembahkan gegantilaning ati sang anak।


Melihat sosok tubuh begawan yang mirip raksasa menyisakan keraguan dalam diri Narasoma, ketika dia dipinang sang begawan sebagai menantu. Terlebih dia sama sekali belum pernah bertemu si perempuan. Tentu saja sulit diterimanya tawaran ini. Namun, Narasoma tidak menyadari siapa Begawan raseksa yang dihadapinya. Pinangan itu berubah jadi pertarungan seru calon mertua dan menantu. Narasoma akhirnya menyadari kehebatan sang begawan. Dia pun bertekuklutut pada sang begawan, dan rela dipertemukan dengan putrid begawan, Pujawati. Siapa sangka, meski bapaknya seorang raseksa, Pujawati adalah seorang perempuan berparas gemilang. Terpikatlah seketika hati Narasoma semenjak kali pertama kerjapan. Maka Narasoma dan Pujawati pun memutuskan menjalani sisa perjalanan hidup mereka bersama-sama.Lantas, mengapa kemudian Begawan Bagaspati meminta kematiannya kepada Narasoma? Pengorbanan lain demi sang anak?


Terasa sedikit ganjil ketika Begawan justru memohonkan perpisahan dengan putri yang amat dicintainya।


Lalu bagaimana sesungguhnya dengan Narasoma sendiri? Apakah keraguan membunuh sang mertua itu sempat meruap di benaknya? Apapun jawabannya, yang terjadi kemudian senjata itu begitu saja menghujam tubuh sang Begawan.Pun tak kita tahu, pada siapa saja kematian sang begawan menaburkan luka. Apakah di selasar hati Narasoma juga teronggok penyesalan? Pilihan apa saja yang sebenarnya dia tarima ketika sang Begawan menyodorkan diri padanya, dan bersedia menitiskan ilmu kadigdayannya pada sang menantu? Apakah pada malam matinya sang begawan saya terlalu curiga pada sosok Narasoma, bahwa sejatinya dia memang mengincar ilmu sang Begawan?Sang dalang pun, Ki Sugiyarto agaknya lupa untuk menggedor pintu Narasoma, untuk meneropong hatinya lebih dalam. Dan rasa penasaran saya ini masih saja di tersungkur di sudut isi kepala saya.Namun saya mencoba mengikuti ajakan dalang dari Yogyakarta,Ki Hadi Sutikno, untuk mengenali Narasoma dewasa, Prabu Salya, penguasa Mandaraka. Duryudana mendaulat Salya sebagai Panglima perang Kurawa usai kematian Karna di Kurusetra. Namun, swatama meragukan kesetiaan Salya pada Kurawa,.Awalnya tak terbersit keberpihakan saya pada kecurigaan Aswatama।


Namun siapa sangka, ternyata padang Kurusetra sesungguhnya telah beralih dalam hati Salya malam itu. Dia mengingat sang adik, Madrim, yang telah menikah dengan Bima, salah seorang ksatria Pandawa, berputerakan si kembar Nakula-Sadewa. Salya merasakan sayatan di hatinya kian menganga ketika menyaksikan sorot mata keponakan kembarnya. Susah payah dicobanya untuk membalut luka yang kian perih ini, namun jawaban atas rasa perih itu sepertinya telah begitu dikenalnya. Jawaban itu ada dalam ingatannya,dalam pesan Begawan Bagaspati, sebelum akhirnya dia menyerah diujung senjata Salya. Jawaban itu telah digaungkan jauh-jauh hari sebelum hari kesenopatiannya. Jawaban itu bicara tentang kematian dan ksatria berdarah putih. Salya seolah telah tahu bahwa waktunya telah tiba. Dia pilih Yudhistira menjadi lawannya.Dan tak pelak lagi, Jamus Kalimasada pun memungkasi kehidupannya।


Dan lihatlah, hati Salya tak pernah berontak dengan kenyataan itu. Mengapa Salya bisa demikian legawa dengan kematiannya? Sungguhkah hanya karena kecintaannya pada Madrim? Ki Hadi Sutikno sendiri menimbang bahwa Salya memang terbelit dalam pergulatan antara rasa sayangnya pada Pandawa dan kewajibannya membela negara, dan dia memilih kata hatinya.Sedikit berbeda dari sanggit para dalang di atas,seorang kawan saya mencoba mengingat Narasoma dalam diri Salya। Ingatan tentang bagaimana dia merenggut kehidupan Bagaspati di masa lalu. Dan, seolah Salya tengah memetik buah karma masa lalunya, dorongan hatinya lah yang memaksanya untuk melepaskan kehidupannya, seperti halnya dia memaksa kematian Begawan Bagaspati.


Kisah Narasoma dan Salya ini adalah beberapa yang ditampilkan dalam Festival Wayang Nasional II di Taman Budaya Yogyakarta। Keduanya mencoba membaca latar belakang keputusan Salya yang cukup rumit untuk dimaklumi. Keputusan mengakhiri hidup mertuanya dan keputusan menyerahkan kematiannya pada Puntadewa.


Meski demikian, tentunya ini semua adalah tarik-menarik di ranah penafsiran bagi seorang dalang. Baik tentang keinginan Narasoma, dorongan hati Salya ataupun karma yang mengikutinya. Dan kesanggupan sang dalang dalam memainkan nalar menjadi penentu keruntutan penafsiran ini. (atiek)

Dari mengayak babak, hingga memoles tubuh pementasan

Sepepat apapun pakem memagari, pertunjukan wayang masih tetap menyisakan lautan penafsiran yang maha luas. 17 dalang telah merampungkan seluruh pertunjukannya di gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta tanggal 15 Desember 2008 kemarin.Soal pertama yang harus diselesaikannya adalah memadatkan pakeliran. Ki Hadi Sutikno, usai menampilkan kisah Salya Gugur, sekilas menyampaikan bahwa meringkas pakeliran juga memerlukan kemampuan tersendiri. Usaha mengayak babak pakeliran dari yang semula bermasa tujuh jam hingga menjadi satu jam saja bukan hal mudah. Dalang dituntut memahami benar cerita sehingga cerita tidak kehilangan jantungnya ketika tampil dalam waktu singkat.

Mengoptimalkan pertunjukan wayang yang singkat ini telah membuka tantangan seluas-luasnya bagi para dalang. Pelbagai inovasi pertunjukan membuat Festival wayang ini menjadi agenda yang mengesankan.Elemen-elemen tubuh pertunjukan mulai dari sabet, catur, dan iringan yang kesemuanya akan mendukung tersampaikannya lakon akan menjadi ajang kebebasan para dalang untuk menumbuhkan ruh dalam pertunjukan. Yanusa Nugroho, sastrawan yang duduk sebagai salah satu juri, mengakui ketersimaannya pada suguhan beberapa dalang peserta. Ki Sigid Ariyanto dianggap memiliki keterampilan sabet yang amat menonjol. Penonton berkali-kali memberikan tepuk tangannya atas aksinya di pakeliran.Lain lagi dengan Ki Apep Hudaya dari Komda Jawa Barat. Tampil pada hari yang sama dengan KI Sigid Ariyanto, Ki Apep Hudaya kentara menjadi pesaing berat bagi Ki Sigid. Ki Apep mampu meramu dengan apik komposisi dialog, cerita, dan sabet, misal dalam adegan kemarahan Rahwana pada adiknya Kumbakarna yang menolak melawan Rama. Yanusa juga menyampaikan keindahan penafsiran Ki Apep dalam adegan Kumbakarna yang gugur di pelukan Wibisana, yang mampu memanggil rasa trenyuh penonton baik dalam tuturan maupun tampilan gerak wayang. Di sini Ki Apep mampu menonjolkan sisi-sisi manusiawi dalam suasana kekejaman perang. Baik Ki Apep maupun Ki Sigit, Yanusa menambahkan, merupakan dalang-dalang muda yang bisa menyalakan apresiasi kaum muda pada wayang.

Untuk dalang dari generasi yang lebih dulu, Ki Hadi Sutikno telah mampu menjembatani jeda ruang pementasan wayang klasik dengan pementasan untuk tuntutan kekinian. Ki Hadi Sutikno menyajikan komposisi lakon dan catur yang rapi, mengelola waktu dengan pas, tetap mengunggulkan karawitan klasik, dialog yang ringan mudah dicerna, membuat penonton dari kalangan muda pun menikmati sajiannya. Mungkin sabetan Ki Hadi Sutikno tidak seinovatif para dalang muda, tetapi ini tidak lantas pementasan Ki Hadi menjadi hambar. Dari keseluruhan pagelaran festival wayang ini, Yanusa melihat bahwa tujuan untuk menggugah apresiasi kaum muda sebagian besar telah berhasil.

Para dalang telah dianggap sukses membaca tuntutan kekinian, tanpa meninggalkan esensi tradisi.

Gong fantastis yang lengah pada ceritaDari keseluruhan penampil yang hadir sebagai peserta, penyaji terakhir dari Komda Jawa Timur , Ki Cahyo Kuntadi mampu menarik perhatian penonton. Menggarap cerita ‘Abimanyu Ranjab’, Ki Cahyo Kuntadi, yang kerap dipanggil Yoyok ini, mampu menghanyutkan penonton ke dalam suasana cerita. Dia memoles tubuh pertunjukan dengan warna-warna ajaib ‘Abimanyu Ranjab’ mengisahkan masa-masa menjelang kematian Abimanyu di bharatayuda. Persiapan kurang lebih satu setengah bulan nampaknya membuahkan hasil cemerlang. Dalam pementasannya, seluruh elemen pementasan digarap dengan sangat apik. Tubuh pementasan wayangnya menjadi begitu berwarna dan dinamis. Dalang yang telah menyelesaikan S2 dalam Kajian Pedalangan dan Teater ini mengaku banyak terinspirasi penampilan Ki Purbo Asmoro, salah satu pengajarnya di ISI

Surakarta. Iringan yang ditangani Setiaji dan script yang digarap oleh Tri Wahyu Widodo juga tak kalah inovatif, dan seolah-olah mampu membius penonton hingga enggan beranjak untuk meninggalkan ruangan. Setiap menit seolah menggiring ketersimaan penonton. Percintaan Abimanyu dan Utari,suasana perang di padang kurusetra, tewasnya Sumitra sang Kusir Abimanyu, ribuan ujung panah yang lesat dari gandewa, hingga gugurnya Abimanyu sendiri diolah dengan begitu mengesankan.

Namun demikian, beberapa pihak menilai bahwa Yoyok tersandung dalam menggarap lakon. Yoyok beranggapan bahwa ketidakmampuan Abimanyu menepati janjinya kepada sang istri Sri Sundari, dengan tindakannya menduakannya dengan Utari, adalah karma yang harus ditebusnya. Sanggit tentang latar belakang kematian Abimanyu ini dianggap terlalu remeh. Yoyok dinilai masih perlu melakukan perjalanan lebih jauh, menggali latar belakang cerita dengan lebih luas. Yanusa Nugroho adalah salah satu yang terkesan dengan penampilan Yoyok. Meski demikian, menurut hematnya elemen iringan digarap dengan terlampau padat, hingga membuat penonton terengah-engah mengikutinya dan tak berkesempatan menghela nafas. Namun, kekurangan-kekurangan tersebut tampaknya tak begitu berarti, jika kita saksikan bagaimana klimaks dibangun dengan sangat anggun. Setelah suasana perang yang kacau, dengan iringan gamelan berirama gegap gempita dan cepat, saksikan bagaimana dalam gerka lambat Abimanyu menangkis ribuan anak panah yang bertubi mengarah padanya.Dramatis dan menggetarkan. Dengarkan pula lengkingan suara magis Sukesi yang mengiringi geliat tubuh sang ksatria. Suaranya telah meniupkan aroma haru dan trenyuh yang kental, hingga penonton pun merasa merinding. Siapa mampu menampik pesona ini? Dengan ngungun, saya bertanya-tanya, sungguhkah ini sebuah pertunjukan wayang? Sungguh fantastis! (atiek).


Festival Wayang menghangatkan Yogyakarta

Langit Yogyakarta mendung semalam. Saya memasuki pelataran Taman Budaya yang tampak tak begitu riuh. Lamat-lamat semacam suara bonang dan seruling melengking mengarahkan langkah saya.

Memasuki gedung ruang pementasan di area Taman Budaya Yogyakarta ketika Ki Nurhadi bersama pengrawit pendukungnya dari Nusa Tenggara Timur tengah mengawali pementasan Wayang Sasak. Suasana ruangan cukup hangat. Lampu diredupkan hingga nyaris gelap. Kelir dicahayai hanya dengan warna tembaga jilatan api belencong dibantu sebuah bola lampu tak begitu terang, yang digantung di sepotong papan tepat di hadapan wajah si dalang, sehingga sesekali dalang musti berkelit dari senggolan lampu. Salah satu pengrawit memastikan bahwa lampu senantiasa bergoyang pelan, dengan sesekali mencoleknya dengan ujung jari. Dari balik kelir, penonton melihat bayangan yang saling berbincang itu seperti bergerak menari menjauh-mendekat.Pementasan yang bertajuk ‘Kubarsih’, yang menceritakan perselisihan antara Raja Kubarsih, Prabu Maliat Kustur, dengan Prabu Jayeng Rana, berlangsung kurang lebih 1 jam, dengan alat musik yang tidak cukup banyak.

Pementasan wayang sasak ini merupakan bagian dari keseluruhan Agenda Festival Wayang Nasional II, yang melibatkan 18 dalang ternama dari seluruh wilayah

Indonesia. Festival Wayang II ini juga bebarengan penyelenggaraannya dengan dua agenda besar pewayangan negeri ini, yakni Sidang II ASEAN Puppetry Assocation dan Musyawarah Nasional Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) ke-V.
Memasuki hari kedua, 13 dalang telah menunjukkan kebolehannya. Setiap dalang memperoleh ruang selama kurang lebih 1 jam untuk menampilkan cerita-cerita yang mereka pilih. Pementasan demi pementasan telah dimulai sejak pukul 10.00 WI hingga pukul 12.00. Malam kedua ini cukup dipadati penonton, yang mengikuti seluruh pertunjukan mulai dari sajian Komda Nusa Tenggara Barat, tuan rumah DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Cukup menggembirakan bahwa di antara penonton, banyak yang berasal dari kalangan muda, dan mahasiswa.


Menjelang pulang, sembari menunggu hujan berhenti, saya menghampiri beberapa penonton untuk mendengar pendapat mereka mengenai acara malam itu. Seorang penonton mengaku bernama Rudi, seorang mahasiswa, mengaku amat terkesan dengan pertunjukan malam itu. Dia tadinya berpikir bahwa wayang hanya ada di wilayah Jawa dan pementasan wayang Sasak malam tadi adalah yang mendorongnya untuk datang menonton, meski dia sendiri tidak memahami dialognya. Jangankan bahasa Sasak, wayang dalam bahasa Jawa pun kadang masih sulit dipahaminya karena bahasa Jawa yang digunakan bukanlah bahasa Jawa yang umumnya dia dengar sehari-hari.

Di sudut lain, seorang penonton perempuan terkesan dengan pementasan dari Komda DI Yogyakarta. Menurutnya, cukup enak ditonton dan tidak membosankan.Satu hal yang disayangkannya berkaitan dengan candaan dari dalang. Menurut amatannya, dari penyajian empat dalang yang berbeda, dia mendengar hanya dalang terakhir lah yang lelucon dan candanya tidak berorientasi seks. Ah, masa sih? (Atik)

Sultan Hamengku Buwono X Buka Festival Wayang Indonesia ke-2

Yogyakarta, - Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta akhirnya resmi membuka Festival वयं Indonesia ke-2 di Pagelaran Keraton Yogyakarta. Dalam sambutannya mengingatkan pentingnya kedudukan dan peran wayang, Ada empat nilai tersirat dalam hakikat wayang yang memainkan peran penting di era ini. Pertama, wayang bernafaskan keluasan pandangan yang mengedepankan dialog, terutama dalam mencari solusi atas perbedaan, Sabtu (13/12).

“Lakon Arjuna dan Cakil adalah contoh nyata dimana upaya dialog berusaha dikedepankan, sebelum akhirnya pertempuran antara kedunya terjadi karena ternyata Cakil benar-benar berniat membunuh Arjuna.”katanya. Lebih lanjut dikatan, wayang bernafaskan tolerasi terhadap pluralitas. Toleran dalam hal ini adalah sikap dan kemampuan psikis untuk menerima komunitas lain, keluar dari batas-batas primordialnya, dan menempatkan orang lain sebagai sesama manusia.

Selanjutnya, yang dijunjung tinggi dalam wayang adalah harkat kemanusiaan dan bukan atas dasar asal-usul, bahkan tokoh Karno, Bisma dan Sengkunipun tetap dihormati dalam perang Bharata Yudha. Sultan menambahkan, dalam wayang penonton jadi peka untuk menilai bahwa dalam kelas sosial manapun akan selalu ada yang baik, yang buruk, yang benar maupun yang salah.

“Di sini tokoh dinilai semata berdasar sikap dan kualitas kemanusiaannya, dan bukan hal lainnya”katanya. Wayang tidak saja berisi ajaran teroritis melainkan justru sangat kongkrit. Ia tidak moralistik sehingga tidak menggurui. ”imbuhnya.

Dalam sambutan yang berlangsung selama sekitar 10 menit itu, Sultan juga mengingatkan bahwa meskipun wayang memiliki nilai aktual tetapi tidak berarti wayang dapat memainkan peranannya di masa kini. Untuk mengaktualisasikan kedudukan wayang, peran orang muda menjadi mutlak perlu.

Menurut Sultan seharusnya hal ini tidak menjadi kendala karena bukankah wayang selalu terbuka dalam menghadapi perkembangan jaman. Ia percaya jika wayang mengandung kekuatan amot, among, amemangkat yakni kemampuan untuk menerima pengaruh luar untuk disaring dan diolah guna memperkuat budaya wayang.

Dalam penutupnya, Sultan mengingatkan Pepadi dan para dalang maupun seniman wayang, apakah seni wayang yang menghasilkan penghargaan wayang sebagai karya agung budaya dunia dapat menjadi wahana meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia yang lebih bermutu. Acara yang juga dihadiri oleh Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, Wakil Deputi Bank Indonesia Kodradi dan Staf Ahli Departemen Dalam Negeri Harjono itu ditutup dengan iring-iringan andong yang mengantar para delegasi dari berbagai provinsi maupun negara itu menuju Societet, Taman Budaya Yogyakarta. Sampai di tempat, para delegasi segera dijamu dengan Reog Ponorogo dan Pentas Wayang Tiga Generasi. yang mengambil lakon Sinto Ilang. Di

sini Bayu Probo Prasopo Aji, dalang cilik yang masih duduk di kelas lima SD, berhasil tampil memikat bersama dalang muda, Nanang Ananto Wicaksono dan dalang senior, Ki Suparman dalam lakon ’Shinta Ilang’.(Cnd)

PRESS RELEASE : HASIL MUNAS PEPADI

Sebuah organisasi modern yang solid dan maju ditandai dengan kemampuan melaksanakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, kepemimpinan PEPADI yang berlangsung 5 Tahun sekali sesuai dengan amanat Anggaran Dasar perlu diselenggarakan Musyaarah Nasional (MUNAS) pada tanggal 16-17 Desember 2008.

Sebagai organisasi pedalangan yang menghimpun potensi Dalang dan seni pedalangan, PEPADI terus berusaha meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan tugas untuk mencapai misi dengan melaksanakan program dan kegiatan-kegiatannya.

Pelestarian dan pengembangan seni pedalangan dan wayang selain menjadi tugas PEPADI, juga merupakan tanggungjawab dan peran serta segenap unsur masyarakat. Untuk itu suksesnya penyelenggaraan Munas PEPADI tahun 2008 ini perlu dukungan dan partisipasi dari berbagai pihak.

Pelaksanaan MUNAS yang berlangsung sejak kemarin (16 des 2008) hingga hari ini terasa sangat dinamis. Teristimewa saat pertangungjawaban ketua PEPADI periode 2003-2008 (Ekojipto) dapat menyajikan pertanggungjawaban dengan baik dan bisa diterima. Walaupun tentu saja ada catatan untuk perbaikan dimasa yang akan datang bagi Ketua terpilih.

Sidang hari pertama telah berhasil menggoolkan pertanggungjawaban ketua PEPADI, dengan demikian Ketua berstatus demisioner. Sementara pimpinan sidang secara kolektif dipilih dari peserta MUNAS terdiri dari:


  1. Bambang Murtiyoso.S.Kar.M.Hum. (Utusan Jawa Tengah)
  2. Drs.Jaryanto (Utusan dari Jawatimur)
  3. Amin Prabowo (Utusan Sumatera Selatan)
  4. Rusman Hadikusumo (Utusan Pepadi pusat)
  5. Sugiono (Utusan Sumatera Selatan)

Cara pimpinan sidang kolektif ini adalah tradisi baru yang menunjukan bahwa PEPADI sangat demokratis dan mengakomodir utusan-utusan dari daerah untuk memimpin sidang yang dapat menghasilkan program kerja. Dari hasil MUNAS hari kedua (17 Des 208) kedua kategori tersebut dapat diselesaikan dengan penuh antusias dan dinamis. Banyak pemikiran-pemikiran peserta dari daerah yang dapat melengkapi dan menyempurnakan program dimasa yang akan datang. Sebagai contoh adanya program workshop atau pelatihan yang harus menjangkau sampai ke daerah. Kedua mempertahankan festival Wayang Indonesia menjadi anggenda PEPADI minimal sekali dalam tiga tahun.

Peristiwa yang menegangkan adalah pemilihan Ketua PEPADI, dimana terjadi 2 kubu yang menghendaki Ketua lama diperpanjang mandatnya, sementara kubu kedua menghendaki adanya pergantian pimpinan. Titik perdebatan paling memanas adalah adanya perbedaan tafsir didalam memajukan PEPADI dimasa yang akan datang.

Setelah melalui pemilihan yang cukup memanas akhirnya sisepakati sistem pemilihan tertutup. Adapaun alasannya pemilihan seperti ini menjamin “demokratis”, menjaga kerahasiaan dan menghindari benturan phisisk yang mungkin terjadi pada sistem pemilihan terbuka seperti yang dilaksanakan pada pilkada-pilkada saat ini.

Adapun hasil akhir dari pemilihan KPU versi PEPADI maka pimpinan PEPADI terpilih periode 2008-2013 adalah Ekotjipto. Selanjutnya Ketua terpilih akan menjadi formatur dalam membentuk kepengurusan.

Festival Wayang Indonesia ke -2 Tahun 2008 diikuti oleh 18 Dalang dari 18 Provinsi di Indonesia, menampilkan berbagai jenis wayang dan gaya pakeliran antara lain, wayang Golek Sunda, wayang sasak, wayang palembang, wayang kulit purwa gaya Surakarta, wayang kulit purwa gaya jawatimuran, wayang kulit purwa gaya Yogyakarta.

Festival berlangsung dari tanggal 13 hingga 15 Desember 2008. Sedangkan Dewan yuri terdiri dari berbagai pakar seni pertunjukan dan pedalangan budayawan dengan diketuai oleh Prof DR.Soetrano dengan anggota, Kasidi hadi Prayitno, Nyoman Murtana.S.Kar.M.Hum. Dr. Suyanto, Tutun Hatta Saputra, S.Kar.M.Sn, Sinarto, S.kar.MM, M.Sobari, Yanusa Nugraha.

Berdasarkan hasil pengamatan dan sidang Dewan Yuri, maka diputuskan 5 lima penyaji terbaik non rangking, garap lakon terbaik, garap catur terbaik, garap sabet terbaik dan garap karawitan terbaik.

Lima nominasi non rangking tersebut adalah; Ki Sihono, (Kalimantan Timur), Asep Hudaya (jawa Barat), Ki Sigit Ariyanto (jawa tengah), Ki Hadi Sutikno (Di.Yogyakarta), Ki Cahyo Kuntadi (Jawa Timur). Sedangkan garap lakon tebaik di peroleh Ki Sigit Ariyanto, Garap catur terbaik Apep Hudaya (Jawa Barat), garap sabet terbaik Ki Cahyo Kuntadi (jawa Timur), garap karawitan terbaik Ki Hadi Sutikno (Di.Yogyakarta).

Menurut salah satu pengamat Prof. DR. Soetarno secara umum ada kemajuan dari peserta daerah. Diingatkan kepada penyelenggara untuk tahun mendatang agar diberikan bekal kepada peserta dengan mengadakan workshop untuk pakeliran padat 1 jam yang belum dipahami oleh seluruh peserta khusunya luar jawa. Untuk ini dapat bekerja sama dengan Perguruan Tingi Seni bidang Pengabdian Masyarakat

Ketua umum PEPADI Ekotjipto dalam pidato penutupan Festival wayang Indonesia ke -2 , mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta dan mencoba berbuat sebaik mungkin dengan memperjuangankan adanya uang pembinaan bagi seluruh peserta, pemenang lima penyaji terbaik maupun empat garap (lakon, catur, sabet, iringan) dan peserta exhibisi. Seluruh uang pembinaan hampir mencapai 445 jt rupiah yang diperoleh dari berbagai pihak. Kegiatan ini juga didukung sepenuhnya oleh Pemerintah DIY.

Kegiatan ini dilanjutkan dengan Munas PEPADI hari ini tangal 16 Desember 2008 yang dibuka oleh 2 Menteri, yaitu Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dan Menteri Pemberdayaan Aparatur negara. Penutupan direncanakan oleh Sri Sultan pada hari Rabu tanggal 17 pukul 14.00 WIB di Hotel Inna Garuda Ruang Mendut.

Yogyakarta, 16 Desember 2008

Ketua Pelaksana FWI- 2 2008

Mas’ud Thoyib.


LAMPIRAN

HASIL FESTIVAL WAYANG INDONESIA KE-2TAHUN 2008 PESERTA FESTIVAL WAYANG INDONESIA KE-2 :

1. KI SIHONO (KALTIM)2. KI JUMARI DWI WARSITO (SUMBAR)

3. APEP HUDAYA (JABAR)

4. MUSIDIN (BANTEN)

5. SIGID ARIYANTO (JATENG)

6. BAMBANG MUDO CARITO (LAMPUNG)

7. KI NANGKEDO (KALBAR)

8. KI SURATMAN (RIAU)

9. KI SUGIYARTO (BENGKULU)

10. KI HARSUDI (JAMBI)

11. NURHADI (NTB)

12. KI HADI SUTIKNO (DIY)

13. KI SUGIYARTO (SUMSEL)

14. KI ANOM SUHARTNO (KALTENG)

15. KI EDI SUSANTO NC (SUMUT)

16. KI TOTO HANDOKO (PAPUA)

17. KI CAHYO KUNTADI (JAWA TIMUR)

18. WAYAN WIJA (BALI) TIDAK HADIR TANPA KETERANGAN PESERTA EXHIBISI. 1. SYAPUTRA (KALSEL) WAYANG BANJAR

2. KGS. WIRAWAN RUSDI (SUMSEL) WAYANG PALEMBANG

3. ANOM SUDARSO (JABAR) WAYANG

CIREBON

TIM PENGAMAT/JURI :

1. PROF. DR.SOETARNO, DEA.

2. KASIDI HADIPRAYITNO, M.Hum.

3. NYOMAN MURTANA, S.Kar, M.Hum.

4. DR. SUYANTO

5. TUTUN HATTA SAPUTRA, S.Kar, M.Sn.

6. SINARTO, S.Kar, MM.

7. M. SOBARI

8. YANUSA NUGROHO

HASIL PENGAMATAN TIM PENGAMT / JURI : PENYAJI DALANG TERBAIK NON RANGKING

- KI SIGID ARIYANTO (JATENG) CERITERA : DEWI RENUKO

- KI CAHYO KUNTADI (JATIM) CERITERA : ABIMANYU RANJAB

- APEP HUDAYA (JABAR) CERITERA : KUMBA KARNA GUGUR

- KI HADI SUTIKNO (DIY) CERITERA : SALYA GUGUR

- KI SIHONO (KALTIM) CERITERA : SENO BUMBU

- GARAP LAKON TERBAIK : KI SIGIT ARIYANTO

- 1 GARAP CATUR TERBAIK : APEP HUDAYA

- GARAP SABET TERBAIK : - KI CAHYOKUNTADI

- 1 GARAP KARAWITAN WAYANG TERBAIK : HADI SUTIKNO

UANG PRODUKSI DAN PENGIRIMAN : SEMUA PESERTA DARI KOMDA MEMPEROLEH BANTUAN BIAYA PRODUKSI DAN PENGIRIMAN SEBESAR RP. 15.000.000,- PER KOMDA PROVINSI.

HADIAH :

a. KEPADA 5 PENYAJI TERBAIK NON RANKIN MENDAPATKAN PIAGAM PENGHARGAAN DAN UANG PEMBINAAN MASING-MASING SEBESAR RP.20.000.000,-

b. KEPADA PEMENANG GARAP CATUR, SABET, LAKON DAN KARAWITAN TERBAIK MENDAPATKAN PIAGAM PENGHARGAAN DAN UANG PEMBINAAN MASING-MASING SEBESAR RP. 15.000.000,-.

PENGHARGAAN UNTUK EXSHIBISI :

1. SYAPUTRA (KALSEL) WAYANG BANJAR

2. KGS. WIRAWAN RUSDI (SUMSEL) WAYANG PALEMBANG

3. ANOM SUDARSO (JABAR) WAYANG CIREBON

MASING-MASING MENDAPATKAN UANG PEMBINAAN SEBESAR RP.10.000.000,-

FESTIVAL WAYANG INDONESIA KE-II 2008

Festival Wayang Indonesia ke-II 2008 yang digelar pada bulan Desember di DI Jogyakarta merupakan puncak seluruh rangkaian kegiatan festival seni pedalangan Indonesia. Sebelumnya telah dilaksanakan festival seni pedalangan yang berjenjang dari tingkat kabupaten, tingkat propinsi, dan berujung di tingkat nasional.

Kegiatan ini diselenggarakan dengan tujuan untuk memotivasi dan menggerakan pergelaran wayang di daerah-daerah seluruh Indonesia, serta meningkatklan prestasi dalang dan seniman pedalangan. Apresiasi masyarakat diharapakan dapat meningkat melalui festival ini, utamanya generasi muda. Festival sekaligus menunjukkan bahwa seni pedalangan merupakan aset budaya bangsa Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan budi pekerti bangsa.

Festival Wayang Indonesia 2008, diikuti oleh 16 dalang yang mewakili 16 provinsi. Wayang yang dipentaskan meliputi berbagai jenis wayang yang berkembang di masing-masing provinsi atara lain; Wayang Kulit Gaya Jawatimuran, Wayang Golek Sunda, Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, Wayang Kulit Purwa Gaya Jogyakarya, Wayang Parwa Bali dan Wayang Sasak. Festival ini mempunyai kriteria pergelaran wayang yang ditampilkan adalah seni pedalangan yang berkembang dan digemari masyarakat luas.

Pendatang baru pada Festival kali ini adalah Wayang Kulit Jawatimuran, yang muncul pertama kali pada Festival Seni Pedalangan Indonesia yang pertama pada Desember 2005 di Jawa Timur sebagai pertunjukan exhibisi. Sebelumnya Wayang Jawatimuran belum dikenal secara luas, tetapi 3 tahun terakhir perkembangannya sangat mencengangkan, ditandai dengan frekwensi pentas yang sangat tinggi, dalang Jawatimuran berkembang pesat dengan masyarakat pendukungnya yang cukup luas meliputi wilayah Gerbang Kertasusila (Gersik, Jombang, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan).

Dalam festival ini juga turut menampilkan pergelaran exhibisi, antara lain: Pergelaran Wayang Kulit Palembang, Wayang Kulit Banjar, Wayang Kulit Betawi, Wayang Kulit Banyumasan. Diharapkan dengan pergelaran exhibisi ini dapat mengangkat, mendorong citra seni pedalangan yang belum berkembang dapat sejajar dengan seni pedalangan yang sudah berkembang; dan memotivasi sehingga semakin berkembang dan mengakar di masyarakat (Bambang. As).

MUSYAWARAH NASIONAL (MUNAS) PEPADI KE-V 2008

Dalam kinerjanya PEPADI Pusat perlu menyelenggarakan Musyawarah Nasional setiap lima tahun sekali, seperti yang diamanatkan oleh AD/ART PEPADI. Sedangkan untuk tingkat Propinsi Musyawarah Daerah dilaksanakan setiap empat tahun sekali, dan tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan setiap 3 tahun sekali. Munas ke-V kali ini akan diselenggarakan di Kota Pelajar dan Budaya, Yogyakarta, pada tanggal 16 – 17 Desember 2008.

Sesuai dengan kesepakatan Munas PEPADI pada tahun sebelumnya, utusan masing-masing daerah ditentukan berdasarkan cakupan wilayah, termasuk banyaknya Kabupaten/Kota di masing-masing Provinsi. Munas PEPADI ke-V tahun 2008 akan diikuti oleh 23 Komisariat Daerah (Komda) provinsi yang akan mengirimkan delegasinya dari masing-masing Komda di luar Jawa, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI.Yogyakarta, Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta.

Kegiatan ini diselenggarakan untuk meningkatkan peran dan fungsi organisasi PEPADI dalam bidang peningkatan seni pedalangan, dan meningkatkan berkembangnya apresiasi masyarakat terhadap seni pedalangan. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai Munas PEPADI antara lain, antara lain: menyusun program 5 (lima) tahun ke depan; membahas perlu tidaknya Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tanga (AD/ART) disempurnakan serta memilih Pimpinan PEPADI Pusat untuk periode 2008-2013 (Bambang. As)

Senin, 22 Desember 2008

WAYANG: KERJA, KARYA DAN DHARMA 8


Kenyataan itu sangatlah paradoks, namun di titik itulah kemanunggalan justru mawujud. Semar pun menjadi esensi dan padanyalah mengerucut segala kebijaksanaan. Semar adalah Dewa tapi ia sekaligus Manusia dan walau manusia ia bukan sekedar manusia. Semar adalah samar dan ia bukan sembarang.
Dalam “Semar Mencari Raga”, Sindhunata menganalogikan Semar sebagai pohon Mandira yang tumbuh diantara bulan dan matahari. Semar yang tengah risau karena ia menganggap diri tidak mengetahui dan mengenal dirinya sendiri akhirnya mendapat titah dari Sang Hyang Tunggal untuk mencari raga.

Sebelum keberangkatannya, Sang Hyang Tunggal berkata kepada Semar, “Pohon Mandira itu adalah pohon petang dan terang, pohon itu tidak memisahkan matahari dan bulan, siang dan malam. Maka kau adalah samar, ya Semar. Janganlah kau samar terhadap kegelapan, jangan pula kau samar terhadap terang. Hanya dengan hatimu yang samar, kau dapat melihat kegelapan dan terang, kebaikan dalam kejahatan (...) Wajahmu pucat seperti mayat. Kau bagaikan manusia yang sudah sirna.

Dalam hidupmu Semar, sudah terkandung kematian. Hanya kehidupan yang berani
membawa kematian dalam dirinya, kehidupan itulah yang akan berlanjut dengan
keabadian (...) Kau adalah dhudha nanang nunung. Dadamu bersusu seperti wanita.
Namun kau berkuncung seperti pria. Maka sulitlah memastikan apakah kau lelaki atau
wanita. Kau kuat seperti lelaki. Kau subur bagaikan wanita. Kau adalah bapa langit
dan ibu bumi. Rupamu jelek, Semar, namun dalam dirimu lelaki dan wanita bersatu.
Dalam dirimu, lelaki hidup bukan karena kegagahannya, wanita hidup bukan karena
kecantikannya. Dalam dirimu, Semar, lelaki dan wanita hidup dan berada karena
cinta. Maka kau, yang jelek, sang dhudha nanang nunung ini juga adalah juga Sang
Asmarasanta. Melihat dirimu, Semar, walau rendah, sudra dan papa, orang akan
tertarik akan keutamaan, karena dalam dirimu ada sejatinya cinta lelaki dan wanita”
(1996: 10-12).

Begitu pentingnya tokoh ini sampai-sampai pada perkembangannya kemudian Semar
dikaitkan dengan wacana kekuatan rakyat, khususnya petani. Stange (1998: 138) mengatakan,
“sejak era India, gerakan petani telah mengkristal dengan berbagai harapan bahwa ratu adil
yang baru akan muncul untuk memperbaiki tatanan jaman yang kacau dan mengembalikan
masyarakat dalam keseimbangan dengan alam”.

Dengan demikian posisi Semar yang menjembatani massa rakyat dengan keraton atau poros kekuasaan memang menjadi ideograph yang penting bagi para milenaris. Condongnya gagasan
‘perebutan kekuasaan’ menjadi daya tarik yang kemudian berusaha di kelola pada masa pasca Indonesia Merdeka. Kasus paling nyata adalah, sebut saja manuver politik yang dilakukan oleh
Preseiden kedua RI, Soeharto untuk meng-counter para oposannya. Pada masa awal naiknya, Soeharto melegitimasi kekuasaannya dengan sepenggal surat yang terkenal dengan sebutan Supersemar, Surat Perintah 11 Maret (1966).

Stange sendiri kemudian menafsirkan bahwa Soeharto berusaha memainkan mitos
Sabdopalon—sebagai reinkarnasi Semar pada masa akhir berdirinya Majapahit—dan
mengutipnya seakan dialah yang memperolah wahyu yang telah dijanjikan sabdopalon itu.
Seperti telah dijelaskan, Majapahit memang dianggap sebagai puncak dari pertemuan diri
dengan diri. Artinya, orang Jawa merasa disanalah puncak hakikat Jawa berhasil
dimanifestasikan. Dalam cerita Darmogandhul memang dituturkan bahwa setelah kejatuhan
Majapahit, jati diri Jawa juga akan sirna bersamaan dengan sirnanya Sabdopalon. Tetapi
Sabdopalon mengatakan bahwa akan ada masanya ‘jaman buda’ yaitu jaman ketika seorang
Jawa kembali berkuasa dan rakyat Jawa akan menemukan jati dirinya kembali setelah 500
tahun dari saat itu (Lih. Nurul Huda, Tokoh Antagonis Darmo Gandhul: Tragedi Sosial
Historis dan Keagamaan di Penghujung Kekuasaan Majapahit. Yogyakarta: Pura Pustaka,
2005).

Bentuk Kesenian wayang pada gilirannya terus mengalami geliat. Bermacam sanggit sampai
dengan bentuk pertunjukan baru yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat hari ini terus
dikembangkan. Kini, apa atau bagaimanapun bentuknya kita hanya bisa berharap bahwa satu
kesenian tradisi ini tidaklah kehilangan nilainya. (catatan ini merupakan bagian dari kajian “Politik Identitas Jawa-Cina”, Cin, 2008)